Diperkuat, Upaya Perangi Radikalisme Ruang Digital
Para pemimpin negara dan pemangku kepentingan lainnya berkomitmen memperkuat upaya kolektif melawan radikalisme di jalur digital.
Oleh
FX Laksana AS dari New York, Amerika Serikat
·3 menit baca
NEW YORK, KOMPAS – Para pemimpin negara dan pemangku kepentingan lainnya berkomitmen memperkuat upaya kolektif melawan radikalisme di jalur digital. Forum Internet Global Memerangi Terorisme yang berdiri mulai 2017 akan menjadi organisasi independen yang bertugas merespon lebih cepat dan bekerja lebih kolaboratif guna mencegah penyebaran konten radikal.
Upaya melawan radikalisme dibahas dalam even samping pada Sidang Majelis Umum PBB ke-74 di New York Amerika Serikat, Senin (23/09/2019). Sesi bertajuk, ”Dialog Para Pemimpin tentang Respon Strategis atas Narasi Teroris dan Ekstrimis Kekerasan”, itu menghadirkan sejumlah pembicara dari pemimpin beberapa negara dan pemangku kepentingan lainnya. Salah satunya adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla.
”Penyebaran terorisme melalui internet dan media sosial merupakan ancaman nyata bagi perdamaian dan keamanan internasional. Penyebaran ujaran kebencian, paham nasionalis-kanan dan xenophobia yang berujung pada tindak terorisme semakin menemukan lahan untuk tumbuh subur di internet,” kata Kalla pada even yang tertutup bagi wartawan tersebut.
Dalam pidato berbahasa Indonesia, Kalla mengatakan, saat ini tidak ada negara yang imun dari ancaman terorisme. Untuk itu, kerja sama internasional yang inklusif harus dilakukan. Ada tiga upaya konkret yang disampaikan Kalla. Pertama, memastikan adanya infrastruktur legal untuk mencegah penggunaaan dunia maya dalam penyebaran konten radikal. Untuk itu, penegakkan hukum harus diperkuat terhadap kejahatan penyebaran konten radikal.
Di Indonesia, Kalla memberi contoh konkret, penyebaran konten radikal di internet adalah sebuah kejahatan dan tindak kriminal. Secara bersamaan, patroli siber serta mekanisme penanganan aduan konten juga diperkuat. Kedua adalah pelibatan platform digital sudah menjadi keniscayaan. Pemikiran ini berangkat dari misalnya kejadian di Christchurch di mana internet digunakan teroris untuk menyebarkan pahamnya.
Oleh karena itu, rekomendasinya adalah raksasa platform digital dunia harus memastikan mekanisme agar platformnya tidak digunakan sebagai sarana penyebaran konten radikal. Sebaliknya, media digital global harus dapat memfasilitasi penyebaran pesan perdamaian dan toleransi.
Ketiga, pemberdayaan netizen untuk melawan radikalisme dan terorisme melalui media sosial. Gerakan spontan netizen melawan terorisme dan serangan di Thamrin di Jakarta pada Januari 2016 adalah salah satu contohnya. Saat itu, hanya beberapa jam setelah serangan teroris, netizen secara bersama menolak takut dan menyebarkan hashtag atau tanda pagar ”KamiTidakTakut” di media sosial hingga menjadi perhatian dunia. Ini adalah bentuk pemberdayaan netizen untuk melawan radikalisme dan terorisme global.
”Indonesia yakin narasi konten radikal hanya dapat diatasi dengan langkah bersama untuk melawannya,” kata Kalla.
Sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern dalam keterangan pers bersama dengan Chief Operating Officer Facebook Sheryl Sandberg, di sela-sela pertemuan, menyatakan, kelompok kerja global di bidang digital bernama Forum Internet Global Memerangi Terorisme akan menjadi organisasi independen yang bertugas merespon lebih cepat dan bekerja lebih kolaboratif guna mencegah penyebaran konten radikal. Kelompok kerja tersebut terdiri atas Facebook, Twitter, Youtube, dan Microsoft.
Menurut Adrern, kelompok kerja tersebut akan dipimpin oleh dewan yang terdiri atas perwakilan perusahaan digital dengan komite penasehat independen yang anggotanya terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat sipil. Beberapa tugas organisasi tersebut adalah membiayai dan mengkoordinasi riset akademis tentang kekerasan atau kegiatan radikalisme sekaligus model pembagian data. Masih mengutip Al Jazeera, Sandberg menyatakan, kelompok kerja tersebut telah memiliki 200.000 jejak digital radikalisme.
”Sebab ketika teroris berupaya menggunakan satu platform, maka mereka juga akan menggunakan platform lainnya. Jadi ketika salah satu dari kami menemukan konten radikal, kami semua bisa mematikannya di seluruh platform,” kata Sandberg.