Perkembangan pesat industri teknologi finansial diharapkan bisa menjadi pendorong inklusi keuangan nasional yang cenderung stagnan
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan pesat industri teknologi finansial (tekfin) diharapkan bisa menjadi pendorong inklusi keuangan nasional yang cenderung stagnan. Industri tersebut dinilai paling tepat untuk merambah masyarakat yang belum terlayani perbankan.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Juli 2019 menyatakan, baru sekitar 68 persen masyarakat yang terakses ke layanan keuangan. Adapun target inklusi keuangan OJK pada akhir tahun mencapai 75 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, inklusi keuangan perlu didorong lebih cepat. Langkah efektif dalam menaikkan inklusi yakni dengan mengembangkan industri tekfin.
”Negara besar seperti ini pasti memerlukan peranan digital, seperti tekfin. Itu akan membuka akses yang selama ini sulit dijangkau. Karena, kan, selama ini perlu kantor. Ke depan tidak perlu lagi,” kata Darmin, dalam Fintech Summit and Expo 2019, pada Senin (23/9/2019), di Jakarta.
Percepatan inklusi keuangan ini penting bagi pertumbuhan ekonomi. Darmin menyororti rasio tabungan nasional terhadap produk domestik bruto (PDB) yang lebih rendah dibandingkan negara maju. Rasio tabungan terhadap PDB Indonesia pada 2017 hanya 31 persen dibandingkan Singapura dan China yang sudah mencapai lebih dari 40 persen.
Tekfin berpotensi menggaet pasar yang belum tersentuh oleh perbankan. Data Asosiasi Fintech Indonesia menyebutkan, sekitar 70 persen nasabahnya merupakan konsumen yang belum terlayani produk perbankan. Potensi itu semakin besar dengan bertumbuhnya akses internet di daerah-daerah.
Data Asosiasi Fintech Indonesia menyebutkan, sekitar 70 persen nasabahnya merupakan konsumen yang belum terlayani produk perbankan.
Menurut Darmin, industri tekfin harus lebih cepat dalam menjangkau konsumen di daerah-daerah terpencil. Sementara itu, perusahaan tekfin juga diminta mengedukasi masyarakat terkait layanan keuangan.
”Saya harap tekfin dapat mengintegrasikan diri dengan sektor ekonomi riil yang telah mengadopsi teknologi juga. Juga bekerja sama dengan agen perbankan,” ujarnya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mejelaskan, tekfin tidak hanya bisa membantu pertumbuhan inklusi keuangan, tetapi juga pertumbuhan inklusi ekonomi. Peran tekfin dalam inklusi ekonomi yakni dalam kontribusi terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta di berbagai sektor ekonomi lain.
Perry melihat keuangan digital akan menjadi masa depan ekonomi Indonesia. Untuk itu, BI sebelumnya sudah meluncurkan Standar Kode Cepat Indonesia (QRIS) yang akan bersinergi dengan pembayaran melalui layanan tekfin ataupun perbankan.
”Visi pembayaran 2025, payment sistem mengembangkan ekonomi keuangan digital. Kami mendorong kerja sama tekfin dengan digital banking,” ujar Perry.
Sementara itu, BI mengubah sistem sandbox perusahaan rintisan. Sebelumnya, perusahaan rintisan hanya perlu mendaftarkan ke regulator. Saat ini, regulator, BI, dan OJK juga berperan mengembangkan perusahaan rintisan di bidang keuangan.
”Kita ubah dari regulatory ke development. Semua start-up itu kita kembangkan dan kemudian kita hubungkan dengan pelaku usaha di bidang keuangan. Untuk regulasi kalau terkait payment sistem ke BI, kalau jasa keuangan ke OJK,” pungkas Perry.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia Niki Santo Luhur mengatakan, sistem tekfin memang tepat untuk mempercepat inklusi keuangan. Sebab, industri ini memiliki infrastruktur digital yang bisa menembus daerah terpencil.
”Kami mendukung agar tekfin dan bank konvensional bisa berkolaborasi agar konsumen lebih nyaman dan punya banyak pilihan untuk memenuhi keperluannya,” papar Niki.