Kebun Sartam (69) di lereng hutan Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, bak meja makan seluas dua hektar di mata yaki, si monyet hitam Sulawesi. Lelah berkonflik dengan yaki, Sartam merelakan sebagian kebunnya untuk monyet itu.
Mulanya, pada 2003. Sartam membuka lahan seluas dua hektar di Desa Puncak Jaya, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Sebagian kawasan di sana diperuntukkan bagi transmigran. Sartam, ayah tiga anak, adalah transmigran asal Banyumas, Jawa Tengah, yang mencoba mengadu nasib di Puncak Jaya setelah bertahun-tahun tinggal sebagai transmigran di Poso, Sulawesi Tengah.
Tangan dingin Sartam berhasil menumbuhkan bermacam tanaman di kebun. Sebut saja jenis kakao yang menjadi tanaman utama, pisang, pepaya, langsat, rambutan, petai, dan aneka sayuran. Semuanya tumbuh subur. Di mata yaki (Macaca hecki) dan babi hutan, apa yang ditanam Sartam bak hidangan di meja makan seluas dua hektar.
Kebun Sartam akhirnya menjadi makanan empuk yaki dan babi hutan. Bagi Sartam dan petani lainnya di Puncak Jaya, yaki adalah ”musuh” paling tangguh. Yaki, yang jumlahnya puluhan ekor dalam satu gerombolan, tak pernah menunjukkan rasa takut saat diusir. ”Berbagai cara sudah saya gunakan untuk mengusir yaki. Bahkan, sempat timbul di pikiran untuk membunuh yaki-yaki itu,” ucap Sartam saat ditemui Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas.
Mula-mula, Sartam dan petani di Puncak Jaya memasang perangkap berupa kandang kayu dengan umpan buah-buahan. Cara itu tak berhasil. Kemudian, anjing penjaga yang diikatkan di salah satu batang pohon kakao juga tak membuat nyali yaki surut. Anjing malah menjadi permainan bagi puluhan yaki yang menyerbu.
Sartam kehabisan akal. Sampai akhirnya ia membuka ingatan 16 tahun lalu. Dirinya sadar bahwa sejatinya hutan yang ia buka menjadi kebun adalah rumah tinggal yaki. Kawasan itu merupakan tempat para yaki mencari makan dan bermain. Ingatan itu membuka pikirannya. ”Saya berucap dalam hati. Silakan kalian (yaki) ambil sebagian, saya ikhlas. Tapi, tolong sisakan sebagian buat saya,” tutur Sartam.
Akhirnya, Sartam membiarkan yaki-yaki itu menikmati sebagian buah dan sayur yang ia tanam. Toh, keputusannya itu tak membuat usaha taninya bangkrut. Kualitas kakao yang ditanam Sartam adalah yang terbaik di Puncak Jaya sehingga harga di tingkat pengepul lebih mahal dibandingkan dengan kakao petani lainnya.
Biji kering kakao Sartam laku dijual lebih tinggi Rp 2.000 sampai Rp 4.000 per kilogram. Saat ini, harga kakao di tingkat petani rata-rata Rp 28.000 per kilogram. Harga kakao memang naik turun dan pernah anjlok hingga Rp 16.000 per kilogram pada 2015 dan melonjak menjadi Rp 39.000 per kilogram setahun kemudian.
Tekad Budiono (54) yang juga petani kakao di Puncak Jaya, menuturkan, yaki dan babi hutan memang masih menjadi hama utama petani di desanya. Ia dan petani lain menyadari bahwa satwa tersebut menjarah hasil kebun lantaran di hutan sudah sulit menemukan sumber pakan. Ia pun melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Sartam, yakni merelakan sebagian hasil kebunnya menjadi sumber pakan satwa hutan.
Apa yang dilakukan Sartam, menurut Staf Perencanaan Sumber Daya Alam Gorontalo pada Burung Indonesia, Afi Nursafingi, dengan merelakan sebagian kebunnya untuk makanan satwa di hutan merupakan sikap bijak dalam konflik sumber daya alam yang melibatkan manusia dan hewan. Selain menjadi sumber penghidupan manusia, hutan juga menjadi rumah bagi banyak satwa. ”Hutan di Puncak Jaya dan sekitarnya adalah rumah penting bagi satwa endemik di Sulawesi, seperti anoa, maleo, yaki, dan berbagai jenis burung lainnya,” kata Afi.
Cara Sartam menghadapi yaki direspons positif banyak pihak. Ia diganjar penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Pohuwato untuk kategori inspirator lingkungan dalam penerapan sistem pertanian berkelanjutan pada Mei 2019. Sartam juga mendapat penghargaan sebagai pejuang lingkungan hidup dari BirdLife International.
Endemik
Macaca hecki hanyalah satu dari tujuh spesies monyet Sulawesi yang dikenal sejauh ini. Keenam spesies lainnya ialah Macaca nigrescens, Macaca nigra, Macaca ochreata, Macaca tonkeana, Macaca maura, dan Macaca brunnescens. Jenis Macaca nigra adalah yang paling unik karena bulu hitam di sekujur tubuhnya, jambul di kepala, dan pantat yang kemerahan.
Selain itu, status konservasi Macaca nigra terancam kritis atau lebih gawat statusnya daripada enam spesies lain. Terancam kritis artinya spesies tersebut berisiko tinggi terhadap kepunahan di alam liar dalam waktu dekat. Adapun status keenam spesies lainnya ialah rentan atau dua tingkat di bawah terancam kritis.
Naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, turut mencatat keberadaan monyet hitam Sulawesi ini dalam bukunya, The Malay Archipelago. Wallace tercatat tiga kali berkunjung ke Sulawesi, yaitu Makassar (Juli-November 1856 dan Juli-November 1857) dan ke Manado (Juni-September 1859). Ia menulis bahwa spesies ini memiliki kerabat dekat di Filipina, tetapi tidak ditemukan spesies lain yang punya kemiripan dengan hewan di daerah lain di Nusantara.
Hewan ini hidup dalam kelompok besar dan biasanya bersarang di pepohonan, tetapi sering turun untuk mencuri makanan dari ladang atau kebun buah, tulis Wallace dalam The Malay Archipelago. (Mohamad Final Daeng/Kristian Oka Prasetyadi)