E-Warong "Siluman" dan Mafia Penyaluran Pangan Nontunai Akan Dibongkar
Bulog menyatakan ada e-warong diduga "siluman". Agennya punya penyuplai tersendiri dan bekerja sama untuk bagi hasil. Kemudian, penerima BPNT dipaksa membeli di sana. Kalau menolak, namanya diancam dicoret.
Oleh
erika kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perum Bulog melaporkan ada sekitar 300 e-warong yang diduga "siluman" yang digunakan sebagai wadah penyaluran bantuan pangan nontunai. Hal itu menunjukkan bantuan pangan nontunai bagi masyarakat miskin belum lepas dari mafia pangan.
Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik Budi Waseso menyampaikan hal itu dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (23/9/2019). Hal itu terungkap dari temuan tim independen yang telah melakukan investigasi beberapa bulan terkahir.
Budi mengatakan, tim independen yang masih dirahasiakan itu menemukan berbagai penyelewengan yang menyulitkan Bulog menyalurkan beras ke penerima bantuan pangan nontunai (BPNT). Salah satunya, adanya 300 e-warong di berbagai wilayah di Indonesia yang diduga siluman.
E-warong yang legal merupakan tanggung jawab Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan terdaftar di Kementerian Sosial (Kemensos). Sementara, pengelola atau agen e-warong ilegal itu diduga bekerja sama dengan oknum penyalur untuk mengintimidasi masyarakat penerima BPNT.
"Agen ini punya penyuplai tersendiri dan mereka kerja sama untuk bagi hasil. Kemudian, saudara-saudara kita yang dapat bantuan ini dipaksa membeli di sana. Kalau menolak, namanya diancam dicoret (sebagai penerima bantuan)," kata Budi.
Agen ini punya penyuplai tersendiri dan bekerja sama untuk bagi hasil. Kemudian, penerima BPNT dipaksa membeli di sana. Kalau menolak, namanya diancam dicoret.
Kasus lain yang ditemukan tim independen adalah adanya oknum yang menyalahgunakan uang BPNT yang diterima keluarga penerima manfaat (KPM) lewat kartu elektronik. Budi mengatakan, ada oknum yang berani menagih kartu BPNT untuk diakses ke e-warong dan ditukar uang tunai yang nominalnya lebih kecil dari nilai yang diterima PMK tiap bulan, yaitu Rp 110.000.
"Jadi, umpamanya kartu penerima BPNT satu RT atau RW dikumpulkan oleh satu orang. Oknum itu lalu ke e-warong untuk menggesek kartunya untuk ditukarkan dengan uang tunai. Ada yang Rp 50.000, Rp 70.000, paling besar Rp 80.000. KPM ini jadi nggak terima beras, tapi terima uang," tutur Budi.
Temuan itu juga diikuti temuan penggelapan produk beras yang disalurkan ke penerima BPNT. Penggelapan antara lain dilakukan dengan menukar beras kualitas premium dengan beras medium dalam kemasan beras Bulog palsu.
Dari sejumlah sampel yang disita dari beberapa e-warong, penggelapan juga dilakukan pada beras dengan merek lain. Selain itu, penerimaan beras yang harusnya 10 kilogram (kg) per bulan dibatasi menjadi hanya 7 kg per bulan.
Kondisi itu, dinilai Budi, membuat informasi dan keluhan masyarakat mengenai buruknya kualitas beras Bulog masih beredar.
Menurut Budi, survei tim independen menghitung, masing-masing penerima program BPNT yang menerima Rp 110.000 per bulan melalui rekening bank dirugikan Rp 29.000. Uang itu pindah ke oknum yang terlibat melakukan penggelapan yang diperkirakan meraup Rp 9 miliar per bulan.
"Saya akan serahkan temuan ini ke Satuan Tugas (Satgas) Pangan. Kami juga akan bekerja sama dengan seluruh kekuatan pemerintah dan penegakan hukum, karena melibatkan berbagai jenis kejahatan," tegasnya.
Untuk mencegah penggelapan, dalam waktu dekat, Bulog akan memperbaiki kualitas pengemasan beras. Direktur Operasi dan Layanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, ke depan Bulog akan menggunakan kemasan beras yang divakum untuk menjaga kualitas beras hingga sampai ke tangan konsumen.
Selain itu, Bulog juga akan memperbaiki label kemasan dengan antara lain mencantumkan informasi jenis beras, persentase butir patah dan derajat sosoh, keterangan campuran dengan varietas beras lain, netto, tanggal pengemasan, hingga nama dan alamat produsen.
Hal itu sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 08 Tahun 2019 Pasal 2 yang mengatur kewajiban pencantuman label dalam bahasa Indonesia bagi pelaku usaha yang memperdagangkan beras dalam kemasan kurang dan atau sama dengan 50 kg. Aturan itu akan diterapkan setidaknya setelah 21 November 2019.
Upaya tim independen dalam mengungkap temuan itu didukung Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial (Kemensos) Andi ZA Dulung, yang dihubungi terpisah.
"Kalau sekiranya ada yang menemukan dan ingin membongkar mafia ini, termasuk Bulog, Kemensos sangat mendukung," ujarnya.
Kalau sekiranya ada yang menemukan dan ingin membongkar mafia ini, termasuk Bulog, Kemensos sangat mendukung.
Sejak program BPNT dimulai, Andi mengatakan, Kemensos telah bekerja sama dengan pemerintah daerah, pendamping pangan, dan Satgas Pangan dari Polri untuk mengawasi penyaluran bantuan.
"Prinsip kami mendorong agar 6T (tepat sasaran, waktu, jumlah, harga, kualitas, dan administrasi), semakin tercapai," lanjutnya.
Kemensos juga mengharapkan agar Dinas Sosial di bawah pemerintah daerah mendukung imbauan Kemensos agar BPNT menggunakan beras Bulog sebagai sumbernya, walaupun tidak untuk memonopoli pasar.
Sampai akhir tahun 2019, pemerintah menargetkan 15,6 juta rumah tangga menerima program BPNT dan beras sejahtera (Rastra).
Penerima BPNT berhak membelanjakan uang bantuan dalam bentuk nontunai untuk keperluan pangan, seperti beras dan telur. Produk itu bisa didapatkan di sekitar 174.000 unit e-warong yang tersebar di 514 kota/kabupaten..