Di akhir masa jabatan, kinerja legislasi DPR mendapat sorotan paling negatif dari publik. Kuantitas dan kualitas legislasi DPR dianggap tak memuaskan.
JAKARTA, KOMPAS Di ujung masa jabatan yang tinggal hitungan hari, kinerja Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 dipandang negatif oleh masyarakat. DPR yang menjalankan mandat dari rakyat dinilai belum mewakili kepentingan publik dalam bekerja. Kinerja legislasi DPR mendapat sorotan paling negatif.
Badan Legislasi (Baleg) DPR mengakui kebijakan di bidang legislasi tidak terlepas dari pertimbangan politik. Namun, Baleg DPR menganggap hal itu tidak perlu dibenturkan dengan kepentingan publik.
Ketidakpuasan publik terhadap kinerja DPR tecermin dari jajak pendapat Kompas, 18-19 September 2019, yang melibatkan 529 responden. Sebanyak 66,2 persen responden merasa belum terwakili aspirasinya oleh DPR 2014-2019. Mayoritas responden juga tak puas pada kinerja DPR, baik dalam fungsi pengawasan, legislasi, maupun penganggaran.
Dari tiga fungsi itu, responden paling tidak puas pada fungsi legislasi. Sebanyak 63,7 persen responden menyatakan tidak puas, 24,4 persen menyatakan puas, dan 11,9 persen menjawab tidak tahu.
Dari sisi kuantitatif, DPR belum mencapai target penyelesaian program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Dari tahun 2015 hingga 2019, realisasi penyelesaian prolegnas prioritas selalu di bawah 50 persen per tahun. Secara kualitatif, beberapa pekan terakhir, ruang publik diwarnai unjuk rasa dan penolakan terhadap sejumlah rancangan undang-undang yang ”dikebut” pada sisa masa jabatan DPR 2014-2019.

Publik, sebagian, menolak pengesahan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Revisi UU KPK disahkan setelah dua kali rapat pembahasan tertutup di Panitia Kerja DPR.
Pembahasan RKUHP juga dibahas Panitia Kerja DPR dan pemerintah secara tertutup. Namun, RKUHP belum disahkan atas permintaan Presiden Joko Widodo. Sementara itu, ada RUU yang dinanti publik, tetapi tak kunjung disahkan, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU itu terancam ditunda pembahasannya ke periode 2019-2024.
Tidak dibenturkan
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Sarmuji, Minggu (22/9/2019), menampik anggapan DPR kejar tayang dalam pembahasan beberapa RUU serta mengabaikan aspirasi publik dan kualitas pembahasan. Menurut dia, sebagian besar RUU itu sudah dibahas dan disiapkan secara internal sejak lama. Dengan begitu, RUU itu bisa disetujui dengan cepat.
Terkait penilaian adanya kepentingan politik yang kuat di balik pembahasan sejumlah RUU pada akhir masa jabatan DPR 2014-2019, Sarmuji mengatakan, hal itu tak bisa dihindari. ”DPR itu lembaga politik, pasti ada pertimbangan politik dalam mengambil keputusan. Hanya saja, politik dalam konteks ini tidak perlu dihadapkan dengan kepentingan publik yang lebih besar,” katanya.
Menanggapi hal itu, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, berpendapat, kinerja legislasi DPR selama lima tahun ini cenderung tidak didasarkan pada pertimbangan intelektual yang memadai. Diskusi saksama dengan berbagai pihak juga tak dilakukan. Dia mencontohkan hal itu dengan revisi UU KPK dan RKUHP.
Menurut Airlangga, kinerja terburu-buru itu tak bisa dilepaskan dari logika kekuasaan. Kelompok elite, katanya, sedang membangun tata politik baru yang akan diterapkan lima tahun ke depan. ”Tata permainan politik itu dimulai dengan dua hal: pertama, membatasi institusi negara yang berperan dalam pemberantasan korupsi; kedua, membatasi kontrol publik terhadap proses politik dan kekuasaan,” ujarnya.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta, Bivitri Susanti, menuturkan, DPR menerabas berbagai hal, termasuk etika berpolitik. Salah satunya, di masa akhir jabatan semestinya anggota DPR sudah tak bisa membuat keputusan politik yang berdampak signifikan terhadap masyarakat.
Terkait citra negatif DPR, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan, kinerja legislasi memang salah satu faktor pembentuk penilaian publik. Namun, dia menilai baik buruk kinerja DPR akhirnya tak berpengaruh signifikan terhadap perubahan citra itu. ”DPR (berkinerja) baik saja sudah (dinilai) jelek, apalagi (berkinerja) jelek,” kata Arsul. (AGE/NIA)