RUU Terkait Sumber Daya Alam Tidak Berpihak ke Rakyat
Sejumlah rancangan undang-undang terkait sumber daya alam digugat karena dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Dua di antaranya adalah RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) dan RUU Pertanahan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Bulir padi varietas Ciperawan, temuan Darmin, tampak menguning meskipun lebih dari 4 minggu tidak teraliri air di Desa Widasar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (20/9/2019). Padi itu diberi cendawan endofit penicillium dari Ketua Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB Suryo Wiyonose hingga tahan dengan kondisi kekurangan air. KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
JAKARTA, KOMPAS — Setelah Undang-Undang tentang Sumber Daya Air yang diniali sarat masalah disahkan, sejumlah rancangan undang-undang terkait sumber daya alam lain juga digugat. Hal ini karena sejumlah rancangan undang-undang tersebut dinilai tidak berpihak kepada rakyat.
Dua rancangan undang-undang (RUU) yang banyak disoroti adalah tentang RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) dan RUU Pertanahan. "Kalau RUU SBPB ini diloloskan akan jadi kado getir bagi petani pada peringatan hari tani. Koalisi Kedaulatan Benih dan Pangan sudah meminta agar RUU ini ditunda dan dikaji ulang," kata Puji Sumedi dari Yayasa Kehati, yang turut dalam koalisi ini, di Jakarta, Minggu (22/9/2019). Koalisi Koalisi Kedaulatan Benih dan Pangan, terdiri dari 18 lembaga sipil terkait dengan pangan dan pertanian.
Kalau RUU SBPB ini diloloskan akan jadi kado getir bagi petani pada peringatan hari tani. Koalisi Kedaulatan Benih dan Pangan sudah meminta agar RUU ini ditunda dan dikaji ulang.
Koalisi telah merekomendasikan agar RUU SBPB ini dikaji ulang dengan semua komponen petani dan kelompok masyarakat sipil. Hal ini karena masih banyak pasal dalam RUU ini yang dinilai berpotensi merugikan petani, di antaranya terkait dengan kebebasan memilih jenis budidaya tanaman dan peminggiran petani dalam pemanfaatan sumber daya genetik.
Guru Besar IPB University Hariadi Kartodiharjo mempertanyakan keberlanjutan dari RUU SBPB diperuntukkan siapa. Ini karena dari beberapa pasalnya tidak menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat tani.
Dia mencontohkan, Pasal 13 tidak ada penjelasan apa yang dimaksud "kepentingan umum" untuk alih fungsi lahan budidaya pertanian. Lahan pengganti sebagai syarat alih fungsi juga tidak ada ketentuannya sehingga berpotensi memicu diskresi.
Sedangkan Pasal 23 menyebutkan, peredaran varietas hasil petani kecil hanya dapat dilakukan jika melaporkan ke pemda atas rekomendasi pemerintah. Itu pun peredaran dibatasi hanya di dalam kelompok petani kecil. Jika diedarkan secara luas, pengedarnya pemerintah.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Runatin (40) dan Tarsono (33) menunjukkan rumpun padi yang menjadi wadah penyilangan dua benih lokal di Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Rabu (21/8/2019). Kedua petani itu tengah menyilangkan varietas ciherang dan leci.
Hariadi juga menyoroti tentang mengenai "perlindungan dan pemeliharaan pertanian" yang hanya terbatas pada aspek fisik-biologis. "Bagaimana dengan kebakaran di lahan mineral atau gambut akibat kegiatan pertanian?" kata dia.
Di Pasal 6, atau bagian perencanan RUU ini, tambah Hariadi, disinggung adanya persoalan pasar dalam komoditas pertanian. Akan tetapi, di dalam batang tubuhnya sama sekali tidak mengatur mengenai pelarangan monopoli komoditi pertanian. Demikian pula mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani di Pasal 100, tidak ada bentuk perlindungan terhadap jatuhnya harga dan atau upaya peningkatan efisiensi produksi.
Tidak berpihak masyarakat kecil
Menurut Hariadi, RUU SBPB ini memiliki benang merah serupa dengan RUU lainnya, seperti RUU Pertanahan yang cenderung tidak berpihak ke masyarakat kecil. Sebelumnya, UU Sumber Daya Air yang disahkan pekan lalu telah dikritik karena berpeluang memicu komersialisasi air dan belum melindungi hak rakyat atas air (Kompas, 18 September 2019).
RUU SBPB ini memiliki benang merah serupa dengan RUU lainnya, seperti RUU Pertanahan yang cenderung tidak berpihak ke masyarakat kecil.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria yang juga Koordinator Umum Hari Tani Nasional (HTN) 2019 mengatakan, ada lima masalah pokok petani hari ini. Pertama, macetnya pelaksanaan reforma agraria yang telah dimandatkan konstitusi, TAP MPR No IX/2001, UUPA 1960, termasuk Evaluasi Satu Tahun Perpres Reforma Agraria.
Kedua, diabaikannya penyelesaikan konflik agraria struktural di semua sektor, dan ketiga masih terjadinya perampasan tanah, penggusuran, serta kriminalisasi yang masih dialami petani. Keempat, RUU Pertanahan tidak berpihak kepada petani, bahkan membahayakan petani dan rakyat kecil lainnya. Selain itu juga terdapat RUU dan revisi UU lainnya yang anti rakyat. Berikutnya, persoalan kelima berupa kebijakan ekonomi, pertanian, dan peraturan hukum lebih pro-korporasi dan menyengsarakan rakyat.
Dewi mengatakan, petani dari berbagai daerah di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan perwakilan petani dari Bali, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan akan melakukan aksi peringatan HTN 2019 pada 24 September di Jakarta. Petani akan menyampaikan aspirasinya, sekaligus menagih janji pemerintah di dua titik, yakni Istana Negara dan Gedung MPR-DPR.