Melalui sejumlah program mitigasi kerusakan alam, PT NSHE mengklaim PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, ramah lingkungan. Perusahaan berkomitmen menjaga biodiversitas dan orangutan tapanuli.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Melalui sejumlah program mitigasi kerusakan alam, PT North Sumatera Hydro Energy mengklaim Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, ramah lingkungan. Perusahaan berkomitmen untuk menjaga biodiversitas selama proyek berlangsung.
PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) merupakan pengembang proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru. PLTA berkapasitas 510 mengawatt ini direncanakan rampung pada 2022. Namun, pembangunan PLTA Batang Toru menuai sejumlah pro dan kontra, salah satunya karena berada di habitat orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Kepala Komunikasi dan Urusan Eksternal PT NSHE Firman Taufick di Jakarta, Minggu (22/9/2019), mengatakan, perusahaannya berkomitmen untuk melindungi satwa endemik Tapanuli Selatan tersebut. Selain mendayagunakan tim pengamanan satwa liar, mereka juga bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
“Kami bekerja sama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara melindungi ekosistem Batang Toru. Kerja sama dengan (LSM) PanEco yang punya visi sama terhadap perlindungan orangutan tapanuli pun sudah terjalin. Kami terbuka dengan semua pihak untuk menyelamatkan orangutan,” kata Firman.
Kami bekerja sama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara melindungi ekosistem Batang Toru.
Langkah perlindungan orangutan itu antara lain adalah dengan melatih masyarakat di sembilan desa sekitar PLTA Batang Toru menjadi kader konservasi. Pelatihan juga diberikan ke 300 siswa di Tapanuli Selatan.
Adapun pemantauan dan pengamanan satwa liar dilaksanakan sejak sebelum pembukaan lahan hingga kini. Tim internal bertugas menyisir area dan menjauhkan satwa liar dari bahaya.
Bila orangutan berada dekat dengan lokasi pengerjaan PLTA, proyek akan dihentikan sementara. PT NSHE memastikan tidak ada satwa yang terluka.
Bila orangutan berada dekat dengan lokasi pengerjaan PLTA, proyek akan dihentikan sementara. PT NSHE memastikan tidak ada satwa yang terluka.
“Tim pemantau akan diperluas dan kami akan adopsi sistem Smart Patrol. Ini semacam 911 agar petugas dan relawan bisa memberi informasi secara real time di lapangan,” kata Penasihat Senior untuk Lingkungan PT NSHE Agus Djoko Ismanto.
Agus mengatakan, PT NSHE akan membuat sejumlah jembatan agar satwa arboreal itu bisa menyeberangi Blok Barat dan Blok Timur dengan aman. Kedua area itu termasuk habitat orangutan tapanuli yang mengapit lokasi PLTA Batang Toru.
Jumlah jembatan yang akan dibuat belum bisa dipastikan. Namun, Agus memastikan jembatan akan diletakkan di lokasi yang menjadi tempat penyeberangan satwa.
Tidak mengganggu
Pengamat lingkungan hidup dan mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (1996-1999) Emmy Hafild memastikan pembangunan PLTA Batang Toru tidak akan mengganggu habitat orangutan tapanuli.
"Sebab, orangutan tersebar di hutan seluas 165.000 hektar (ha) dengan daerah jelajah 800 ha-3.000 ha. Sementara itu, luas tapak struktur bangunan PLTA Batang Toru ialah 122 ha," kata dia.
Kehadiran PLTA Batang Toru yang berada di antara Blok Barat dan Timur dikhawatirkan membuat habitat orangutan terfragmentasi. Kondisi ini rentan menimbulkan perkawinan sedarah atau imbreeding yang berpotensi menuju ke kepunahan.
Orangutan tapanuli diperkirakan berjumlah kurang dari 800 ekor. Pada 2017, orangutan itu ditetapkan sebagai spesies baru. Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN) lalu memasukkan orangutan tapanuli dalam daftar spesies yang sangat terancam punah.
“Orangutan tapanuli sudah terfragmentasi sejak lama. Mereka terfragmentasi secara alami dengan adanya Sungai Batang Toru yang membelah Blok Barat dan Timur. Fragmentasi juga terjadi dengan campur tangan manusia, yaitu dengan adanya jalan tol Trans-Sumatera,” kata Emmy.
Orangutan tapanuli sudah terfragmentasi sejak lama. Mereka terfragmentasi secara alami dengan adanya Sungai Batang Toru yang membelah Blok Barat dan Timur.
Emmy menyatakan, proporsi lahan yang terganggu dengan pembangunan ini jauh lebih kecil dibandingkan habitat orangutan. Dengan reboisasi, ia memperkirakan hutan akan kembali hijau sekitar 2028. Proses penanaman kembali itu kini sudah mulai dilakukan.
Ia menyarankan agar dilakukan penanaman pohon pakan yang disukai orangutan, seperti pohon durian, pete, dan jengkol. Selain untuk menyediakan makanan satwa, upaya ini juga mencegah orangutan tapanuli masuk ke lahan warga.
“Saya yakin langkah perlindungan orangutan ini bisa jalan berbarengan pembangunan PLTA Batang Toru,” kata Emmy.
Kehadiran PLTA Batang Toru diperkirakan bisa mengurangi emisi karbon sebesar 1,6 juta ton per tahun. Angka ini setara empat persen dari target yang ditetapkan pemerintah pada 2030, yakni 29 persen. Penyerapan karbon oleh PLTA Batang Toru tersebut setara dengan 12,3 juta pohon yang tingkat penyerapan karbonnya moderat.