Kisah Korban Keganasan Perang Asia yang Terlupakan
Buku ”Sisi Gelap Perang Asia” mengungkap terminologi baru mengenai korban perang yang bukan hanya harta dan nyawa, melainkan juga aspek relasi, status kewarganegaraan, dan masa depan orang-orang yang terdampak.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Perang Dunia Kedua usai. Jepang menyerah kepada Sekutu. Tak berselang lama setelah itu, di Tanah Air, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun, persoalan belum bisa dikatakan selesai.
Di Jepang, terdapat 83 mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu ketika perang usai. Keberangkatan mereka disokong oleh Pemerintah Jepang melalui Program Nantoku tatkala ”Saudara Tua” itu masih berkuasa di republik. Sebelumnya, sudah ada pula 24 warga negara Indonesia yang dengan biaya sendiri memutuskan untuk sekolah di Jepang.
Ketika kabar proklamasi sampai ke telinga para mahasiswa tersebut, mereka senang bercampur bingung. Mereka senang karena Tanah Air sudah merdeka. Namun, keinginan untuk pulang harus melalui jalan terjal.
Belanda yang menjadi bagian dari Sekutu belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, dengan status sebagai warga jajahan Jepang, syarat repatriasi harus terlebih dulu menjadi warga negara Belanda.
Didorong keinginan untuk kembali ke Tanah Air, tak sedikit mahasiswa mengambil jalan itu. Mereka kemudian dipulangkan dalam empat gelombang dengan kapal dari Java China Paketvaart Lijen yang bernama Cibadak. Namun, repatriasi dengan kapal yang berangkat dari Kobe, Jepang, itu baru terjadi antara Februari dan Agustus 1947 atau dua tahun setelah Indonesia merdeka.
Di luar mereka yang kembali, ada pula yang ragu dengan kesungguhan Belanda memulangkan kembali ke Indonesia. Salah satunya, Perik Pane. Alhasil, Pane bertahan di Jepang dan tinggal di negeri tersebut hingga kini.
Pada saat yang sama di Indonesia, para serdadu dan warga sipil Jepang diwajibkan pulang. Namun, tak semua mematuhi instruksi itu. Sebagian enggan pulang karena jatuh hati dengan perempuan Indonesia. Sebagian bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Alih-alih pulang kampung, mereka ikut berjuang bersama melawan Belanda. Mereka kemudian disebut desertir.
Demikian sepenggal kisah dalam buku berjudul Sisi Gelap Perang Asia: Problem Repatriasi dan Pampasan Perang Jepang Berdasarkan Arsip yang Belum Pernah Terungkap, yang ditulis oleh indonesianis asal Jepang, Prof Aiko Kurasawa.
Buku yang sebagian di antaranya disarikan dari disertasi doktoral kedua Aiko itu diluncurkan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Jumat (20/9/2019), atas kerja sama antara Penerbit Buku Kompas (PBK) dan LIPI.
Dengan mengambil periode 1945-1957, buku itu ingin menyingkap banyak isu dan peristiwa antara Indonesia dan Jepang melalui studi arsip dan wawancara saksi sejarah yang hingga kini masih menyisakan banyak pertanyaan.
Selain Aiko Kurasawa, hadir sebagai pembicara dalam diskusi buku itu, peneliti sejarah politik di LIPI Prof Asvi Warman Adam, sejarawan Rushdy Hoesein, dan pengajar Sastra Jepang Universitas Hasanuddin, Meta Sekar Puji Astuti.
Asvi Warman Adam pun menguatkan materi yang disajikan dalam buku Aiko Kurasawa.
”Jadi yang tinggal (pasca-Jepang menyerah) adalah persoalan seperti serdadu yang desertir dan orang Indonesia yang tak bisa pulang,” katanya.
Saat dikirim dalam masa pendudukan Jepang, tak ada soal bagi mahasiswa Indonesia itu untuk memasuki Negeri Sakura. Namun, situasi sudah sama sekali lain saat mereka hendak pulang kampung.
Mereka harus terlebih dulu meminta izin kepada Misi Militer Belanda yang ada di Jepang untuk pulang. Izin ini baru akan diberikan jika mereka mengubah kewarganegaraannya menjadi Belanda.
Mereka, lanjut Asvi, pernah berkirim surat ke Pemerintah Indonesia dengan menceritakan dilema yang dialami. Namun, surat tersebut tak pernah sampai. ”Mereka tak mau jadi warga negara Belanda, tetapi terpaksa karena tak ada jalan lain untuk pulang ke Tanah Air,” katanya.
Aiko Kurasawa menyatakan, orang-orang yang bingung karena perubahan pascaperang itu dilupakan oleh masyarakat, juga sejarah. Nama mereka jarang disinggung dalam narasi sejarah. Padahal, pengetahuan tentang nasib mereka yang terombang-ambing ini penting bagi kedua negara.
”Ini dasar hubungan antarnegara yang betul-betul berlandaskan kemanusiaan. Hubungan antarpemerintah mungkin penting, tetapi di lain pihak, hubungan antarpribadi juga tak kalah pentingnya,” katanya.
Hubungan kemanusiaan itu, lanjutnya, harus melampaui aturan hukum yang kaku.
Terkenanglah Aiko Kurasawa pada film Bumi Manusia besutan Hanung Bramantyo. Tokoh Annelies Mellema—yang berayah Belanda dan beribu Indo—harus meninggalkan Tanah Air-nya setelah sang ayah meninggal dan hak waris jatuh kepada kakak satu ayah, Maurits Mellema.
Menurut aturan hukum yang berlaku waktu itu, Annelies adalah warga Belanda. Oleh karena itu, ia harus ikut Maurits ke Belanda.
”Tetapi secara kemanusiaan tidak boleh begitu. Dia adalah anak Nyai Ontosoroh (Ibu Annelies) dan Indonesia adalah Tanah Air-nya. Itulah pesan yang ingin saya sampaikan dalam buku ini. Bagaimanapun, kemanusiaan harus diutamakan ketimbang aturan hukum yang ajek,” tuturnya.
Bagi Firman Noor, karya Aiko Kurasawa telah memberikan terminologi baru mengenai korban perang. Korban tidak selalu berangkat dari nyawa yang melayang. Namun, termasuk mereka yang kehilangan Tanah Air.
”Ini jauh lebih pedih dan perih sehingga layak disebut sebagai korban dari keganasan perang,” katanya.
Selain itu, buku ini juga mengisi missing link hubungan Indonesia-Jepang tahun 1945-1957. Menurut dia, tidak banyak buku yang membahas soal itu, terlebih yang berbasis dokumen dalam negeri.
”Buku ini salah satu tulang punggungnya adalah dokumen Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional,” ujarnya.