Biaya Internet dan Digitalisasi di Indonesia
Era teknologi dan digital telah mengubah pola pengeluaran, termasuk konsumsi internet. Demi tetap bisa berjejaring dan berselancar di dunia maya, biaya untuk internet perlahan menjadi prioritas pengeluaran.
Era teknologi dan digital telah mengubah gaya hidup dan pola pengeluaran. Setiap aktivitas kehidupan saat ini terhubung dengan internet. Demi tetap bisa berjejaring dan berselancar di dunia maya, biaya untuk bisa tersambung dengan internet secara perlahan menjadi prioritas pengeluaran. Lebih jauh, penggunaan internet dan gawai semestinya bisa meningkatkan produktivitas dan perekonomian.
Sejak bangun hingga tidur lagi, gawai sulit lepas dari genggaman. Sebagai makhluk yang selalu berkomunikasi, individu selalu terkoneksi dengan jaringan pertemanannya baik melalui aplikasi percakapan (chatting) maupun sekadar mengikuti perkembangan dunia media sosial.
Oleh karena itu, jaringan internet tidak boleh putus. Sering kali, kebutuhan untuk tersambung dengan internet kini lebih dulu dipenuhi ketimbang kebutuhan pokok.
Hasil survei yang diselenggarakan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2018 menunjukkan, pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta orang atau 64,8 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 264,16 juta orang.
Jumlah pengguna tersebut meningkat 89 kali lipat dibandingkan tahun 2000. Peningkatan yang sangat signifikan ini menggambarkan penetrasi massif telepon genggam dan infrastruktur jaringan komunikasi yang baik.
Pemanfaatan internet ini lebih banyak menggunakan telepon pintar (smartphone). Sebanyak 93,9 persen responden mengakui terhubung dengan internet melalui telepon pintar mereka setiap hari. Sementara pengunaan internet melalui komputer meja atau jinjing, bahkan tablet, porsinya hanya kecil.
Cara terbanyak yang dipakai untuk terhubung dengan internet ini adalah dengan membeli paket data atau kuota dari operator seluler tertentu (96,6 persen). Sementara penggunaan internet yang memanfaatkan Wi-Fi di ruang publik atau kafe dan restoran jumlahnya sekitar 30 persen saja.
Pengeluaran internet
Dengan perilaku pengguna internet tersebut berarti ada biaya yang harus disediakan agar kebutuhan berinternet tanpa jeda bisa terpenuhi. Mengeluarkan biaya untuk belanja kuota sudah bukan kebiasaan asing lagi. Hasil olahan data dari Badan Pusat Statistik memperlihatkan, dalam kurun waktu 10 tahun (2008-2018), pola pengeluaran untuk barang-barang keperluan sehari-hari mulai berubah.
Khusus pengeluaran untuk internet, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan meningkat eksponensial, yakni 128 kali lipat selama sepuluh tahun terakhir. Jika pada tahun 2008 rata-rata pengeluaran per kapita untuk internet hanya Rp 118 per bulan, pada 2018 naik menjadi Rp 15.261 per bulan.
Baca juga: Adu Strategi Merebut Pasar Ponsel di Indonesia
Peningkatan pengeluaran untuk keperluan internet ini tergolong tinggi jika dibandingkan pengeluaran untuk komoditas lain. Bahkan, lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran komoditas kelompok sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) yang dalam kurun waktu yang sama meningkat paling tinggi 10 kali lipat.
Pengeluaran per kapita beras, misalnya, meningkat hanya satu kali lipat atau 113 persen. Komoditas sembako yang paling tinggi kenaikan pengeluarannya adalah daging sapi, yaitu sepuluh kali lipat. Beberapa barang sembako bahkan mengalami penurunan pengeluaran, seperti jagung basah (minus 11 persen) dan minyak tanah (minus 99,3 persen).
Tahun 2008, pengeluaran untuk internet masih lebih rendah dibandingkan pengeluaran barang-barang sembako. Namun, pada tahun 2018 pengeluaran untuk internet hanya berada di bawah pengeluaran untuk beras, bahkan ia lebih tinggi dibandingkan untuk pembelian daging sapi atau daging ayam per kapita sebulan.
Peningkatan atau penurunan pengeluaran per kapita dipengaruhi seberapa banyak kebutuhan konsumsi terhadap suatu barang, di samping juga ditentukan oleh faktor harga. Semakin banyak konsumsi, akan semakin besar pengeluaran. Begitu sebaliknya. Demikian pula terkait harga. Semakin mahal harga suatu barang, meski jumlah konsumsi tetap, pengeluaran juga akan semakin meningkat. Begitu pun sebaliknya.
Sebanyak 78 persen pengguna internet di Indonesia melakukan belanja online. Sekitar 75 persen belanja online dilakukan lewat perangkat gawai.
Penggunaan internet tidak termasuk pengeluaran kebutuhan dasar yang meliputi sembako ataupun kelompok pangan, sandang, dan papan. Ia bisa digolongkan ke dalam kelompok kebutuhan gaya hidup dan teknologi.
Termasuk dalam kelompok ini, komoditas lain yang mengalami kenaikan cukup tinggi antara lain pengeluaran untuk asuransi kesehatan (53 kali lipat) dan pengeluaran untuk pembelian es krim (5 kali lipat). Sementara pengeluaran untuk transportasi hanya meningkat satu hingga tiga kali lipat.
Secara keseluruhan, pengeluaran antara kelompok komoditas makanan dan nonmakanan meningkat relatif sama dalam sepuluh tahun terakhir ini. Kelompok komoditas makanan meningkat 201,1 persen, sedangkan kelompok komoditas nonmakanan meningkat 195,4 persen.
Mendorong ekonomi
Tren penggunaan internet yang terus meningkat di Indonesia bisa menjadi pendorong perekonomian. Di era digital, terbuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi.
Teknologi digital menawarkan banyak jalan untuk mendorong produktivitas di semua sektor usaha dan semua penduduk bisa ikut berpartisipasi dalam proses ekonomi. Selain itu, digitalisasi juga akan menghemat biaya dan meningkatkan efisiensi dalam rantai pasok.
Negara-negara yang memanfaatkan teknologi digital dikatakan akan mendapatkan keuntungan ekonomi yang signifikan untuk jangka panjang. Sebaliknya, negara-negara yang lambat mengimplementasikan teknologi dalam kegiatan ekonominya berisiko menjadi tertinggal.
McKinsey dalam laporan Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity tahun 2016 menyebutkan, Indonesia sudah berada dalam tahap awal digitalisasi. Penduduk Indonesia yang sudah saling terhubung karena internet sebenarnya sudah cukup melek teknologi.
Disebut melek teknologi karena netizen yang selalu tersambung dengan internet punya kebutuhan akan konektivitas yang kontinu dan konstan: mereka menghabiskan waktu lebih banyak dengan internet, serta terlibat secara mendalam dengan media sosial.
Selain itu, digitalisasi ditandai pula dengan intensitas perdagangan elektronik (e-commerce) yang berkembang, begitu juga dengan hiburan bergerak (mobile entertainment) dan konten-konten permainan (gaming content).
Akan tetapi, lanjut McKinsey, penetrasi internet di Indonesia masih tergolong rendah. Karena itu, perjalanan Indonesia untuk menuju era digital masih panjang. Diperkirakan, dalam periode 2015-2020 akan bertambah lagi lebih dari 50 juta pengguna baru internet sehingga angka penetrasi mencapai sekitar 53 persen.
Di negara-negara maju, seperti Singapura, Korea, Jepang, atau Amerika Serikat, saat ini angka penetrasi internet berada di atas 80 persen. Jika Indonesia sudah mampu merangkul digitalisasi, diperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2025 akan mencapai angka 10 persen.
Tiga kondisi
Percepatan digitalisasi sangat diperlukan, tetapi hal itu menuntut transformasi yang mendasar. Setidaknya ada tiga hal yang menentukan proses digitalisasi di Indonesia akan semakin baik, yaitu kondisi infrastruktur, konsumen, dan bisnis rintisan.
Dari segi infrastruktur, biaya mobile data di Indonesia relatif murah dan terjangkau dibandingkan negara-negara di ASEAN lainnya. Tetapi, kualitasnya (kecepatan koneksi dan internet bandwidth) masih rendah. Pengembangan infrastruktur digital ini dihadapkan pada tantangan jumlah populasi yang besar dan kompleksitas geografis.
Informasi dari laman Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan, cakupan sinyal 4G/LTE di Tanah Air pada 2018 sudah menjangkau 423 kabupaten (82 persen), sekitar 5.300 kecamatan (79 persen), dan 74 persen desa. Namun, infrastruktur ini masih harus ditingkatkan untuk di wilayah luar Jawa, terutama di wilayah perbatasan dan daerah tertinggal.
Penetrasi internet berkorelasi dengan pendapatan per kapita. Daerah-daerah yang tergolong miskin biasanya penetrasi internetnya lebih rendah. Hanya pusat-pusat kota dengan populasi yang cukup besar, seperti Jakarta, yang memiliki penetrasi internet tinggi.
Dari segi konsumen, jumlah penduduk Indonesia yang besar menentukan tingkat keaktifan penggunaan media-media atau konten yang berbasis online. Penggunaan media sosial di Indonesia tertinggi di dunia. Bahkan, Jakarta disebut sebagai ibu kota Twitter dunia.
Begitu juga dalam penggunaan internet untuk belanja online. Sebanyak 78 persen pengguna internet di Indonesia melakukan belanja online. Sekitar 75 persen belanja online dilakukan lewat perangkat gawai.
Dari segi bisnis rintisan, bermunculan unicorn-unicorn yang langsung disambut oleh pengguna internet. Perdagangan elektronik (e-commerce) berkembang baik yang lokal maupun asing.
Tahun 2008, pengeluaran untuk internet masih lebih rendah dibandingkan pengeluaran barang sembako. Namun, di tahun 2018 pengeluaran untuk internet hanya berada di bawah pengeluaran untuk beras.
Di skala lokal, untuk perdagangan umum, misalnya, ada toko online Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Sociolla, dan Bhinneka. Sementara toko online yang berasal dari luar negeri ada Shopee, Lazada, dan JD.ID. Bisnis rintisan juga muncul di bidang pendanaan, pembiayaan, angkutan, dan sebagainya.
Tahun 2016, pendapatan toko-toko online di Indonesia tercatat 6 miliar dollar AS. Industri ini diharapkan tumbuh sekitar 18 persen per tahun dan lima tahun ke depan sejak 2016 akan mencapai volume pasar 16,4 miliar dollar AS pada akhir 2020.
Tiga kondisi, yakni kombinasi infrastruktur-konsumen-bisnis rintisan, menjadi kunci Indonesia lebur dan memenangkan era digital. Jika hal tersebut terpenuhi, meningkatnya pengeluaran untuk internet menjadi suatu keniscayaan. (LITBANG KOMPAS)