JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah disepakati dalam forum pengambilan keputusan tingkat pertama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah pada 18 September lalu mengandung sejumlah ketentuan yang mengancam perempuan dan kelompok rentan seperti warga miskin dan masyarakat adat. Pada saat yang sama, RKUHP tersebut juga memuat ancaman hukuman yang lebih ringan untuk sejumlah perbuatan korupsi.
Ini membuat desakan agar RKUHP tidak disetujui menjadi KUHP dalam Rapat Paripurna DPR, 24 September 2019, terus bermunculan. Pemerintah dan DPR pun masih punya ruang untuk membatalkan pengesahan RKUHP dan mengevaluasinya pada periode 2019-2024 secara lebih terbuka dan terukur.
Desakan agar RKUHP tidak disetujui menjadi KUHP dalam Rapat Paripurna DPR, antara lain, disampaikan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi dan pegiat gerakan masyarakat sipil dalam unjuk rasa yang mereka gelar di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Akibatnya, ruas Jalan Gatot Subroto di depan Kompleks Parlemen sempat ditutup dan kendaraan dialihkan melalui jalur Transjakarta.
Selain memprotes sejumlah undang-undang lain seperti UU KPK hasil revisi, dalam aksinya, para pengunjuk rasa menilai isi RKUHP bisa memberangus kebebasan sipil, demokrasi, serta mengancam kelompok rentan.
Hal itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 432 RKUHP yang menyatakan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I, yang berarti Rp 1 juta.
Bertentangan
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, isi Pasal 432 RKUHP itu sangat berbau kolonial dan bertentangan dengan Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara.
”Pasal 432 RKUHP berpotensi overkriminalisasi terhadap masyarakat tidak mampu yang hak konstitusionalnya untuk dipelihara negara sebenarnya sudah dijamin konstitusi,” kata Feri.
Dengan tiadanya penjelasan mengenai definisi gelandangan yang mengganggu ketertiban umum, Pasal 432 RKUHP juga berpotensi mengkriminalisasi kelompok masyarakat lain, seperti pengamen, tukang parkir, serta orang dengan disabilitas psikososial yang telantar.
Potensi komplikasi pada penegakan hukum, lanjut Feri, juga akan muncul karena gelandangan mungkin tidak akan mampu membayar denda yang dimaksud.
Secara terpisah, Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan, setidaknya ada delapan materi krusial yang terkait perempuan dan kelompok rentan yang masih ada dalam rumusan RKUHP.
Kondisi ini menjadi ironis karena dalam RKUHP, ancaman hukuman sejumlah perbuatan korupsi menjadi lebih ringan daripada yang sebelumnya diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Hal ini, misalnya, terlihat untuk perbuatan memperkaya diri yang diatur dalam Pasal 604 RKUHP, yang diadopsi dari Pasal 2 UU Tipikor. Ancaman penjara minimum untuk pelaku lebih singkat, dari sebelumnya 4 tahun dalam UU Tipikor menjadi 2 tahun dalam RKUHP. Hukuman denda minimum pun diperingan menjadi Rp 10 juta dari sebelumnya Rp 200 juta.
Hukuman denda untuk pelaku penyalahgunaan kewenangan atau jabatan dalam Pasal 605 RKUHP yang mengadopsi Pasal 3 UU Tipikor juga lebih rendah. Jika ancaman denda minimum dalam UU Tipikor Rp 50 juta, dalam RKUHP Rp 10 juta.
Sementara ancaman pidana bagi perempuan yang menggugurkan atau mematikan janinnya paling lama 4 tahun.
Tidak ada patokan
Keadaan ini membuat Direktur Eksekutif ICJR Anggara melihat tidak ada patokan yang jelas mengenai cara tim perumus dari Panitia Kerja DPR dan pemerintah menentukan pemidanaan dalam RKUHP.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan, dalam pembahasan RKUHP di tingkat panja, rasionalisasi pemidanaan terhadap sejumlah tindak pidana memang belum sempurna. Menurut dia, rata-rata penetapan ancaman pemidanaan untuk berbagai tindak pidana ditentukan berdasarkan pertimbangan perasaan tim perumus.
”Misalnya, kenapa harus diancam penjara 2 tahun? Sering kali tidak ada jawaban dan penjelasannya, cukup ditimbang-timbang dan dirasa-rasa, sepertinya cocok 2 tahun. Memang ini yang harus diperbaiki ke depan. Harus ada rumusan yang pasti,” tutur Nasir.
Penetapan ancaman pemidanaan ini, ujarnya, relatif lebih sulit diterapkan untuk kasus pidana terkait kesusilaan. ”Pada akhirnya, rujukan pemidanaan diambil dari undang-undang sektoral lain, atau berdasarkan pertimbangan yang memakai nuansa rasa,” ujarnya.
Nasir membantah ada kecenderungan negara mengkriminalisasi masyarakat secara berlebihan melalui RKUHP. ”Kami hanya ingin mengatur agar ketertiban umum bisa ditegakkan,” katanya.
Terkait upaya untuk menjaga ketertiban umum tersebut, lanjut Nasir, pasal tentang gelandangan dibuat. Dengan pasal itu, negara diharapkan terdorong untuk lebih intensif melindungi dan memelihara fakir miskin dan orang telantar.
”Jadi perspektifnya dibalik, harus dilihat bahwa justru negara harus bertanggung jawab agar warganya tidak ada yang jadi gelandangan. Ini jadi pekerjaan besar ke depan,” katanya.
Adapun RKUHP mencantumkan ketentuan peralihan selama dua tahun sebelum akhirnya diberlakukan. Dalam waktu dua tahun itu, pemerintah memiliki tugas besar menyosialisasikan dan mengonsultasikan penerapan RKUHP agar penerapannya nanti tidak amburadul. ”Ini memang kerja berat, kerja keras,” katanya.
Namun, dengan melihat masih banyak persoalan dalam RKUHP, Feri Amsari menilai DPR dan pemerintah mestinya tidak mengesahkan RKUHP dalam rapat paripurna pada akhir masa jabatan, 24 September 2019.
”Ada banyak hal yang terlalu dipaksakan. Jika itu diterapkan, kita mengalami langkah mundur. Seharusnya DPR dan pemerintah mengutamakan perasaan dan aspirasi masyarakat,” kata Feri. (AGE/NIA/DVD/SON)