Aktivis Centre for Orangutan Protection meminta pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru, di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dihentikan sementara. Proyek itu mengancam kelestarian orangutan Tapanuli.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Aktivis dari Centre for Orangutan Protection meminta pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru, di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dihentikan sementara. Pembangunan itu dinilai mengancam kelestarian orangutan Tapanuli. Mereka ingin kajian mendalam untuk menjamin spesies itu tidak punah.
Hal tersebut diungkapkan sejumlah aktivis Centre for Orangutan Protection (COP) usai menggelar aksi, di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (20/9/2019).
“Tolong proyek ini dihentikan dulu sementara. Coba lakukan ini dengan proper (terukur). Kita bikin survei yang benar, kajian yang benar. Ditata dari awal. Tetapi, hentikan dulu (proyeknya),” kata Pendiri COP Hardi Baktiantoro.
Indira Nurul Qomariah, ahli biologi dari COP, mengatakan, keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru itu salah satunya mengakibatkan fragmentasi dari populasi orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Fragmentasi terjadi antara Blok Barat dan Blok Timur. Lokasi pembangunan PLTA Batang Toru berada di tengah-tengah blok tersebut.
Saat ini, populasi orangutan Tapanuli itu kurang dari 800 ekor. Habitat spesies itu hanya ada di Tapanuli Selatan. Pada 2017, spesies itu baru ditetapkan sebagai spesies baru. International Union for Conservation of Nature langsung memasukkannya ke dalam daftar merah spesies yang hampir punah.
Selanjutnya, Indira menjelaskan, keadaan terfragmentasi membuat perkawinan sedarah atau imbreeding rentan terjadi. Hasil dari perkawinan tersebut membuat orangutan yang baru lahir tidak akan kuat hidup lama. Perlahan-lahan jumlah spesies itu pun akan tergerus.
Selai itu, kemampuan reproduksi orangutan Tapanuli juga lemah. Betina dari spesies tersebut baru bisa bereproduksi pada usia 12-15 tahun, sedangkan jantannya baru bisa berproduksi pada usia 18-20 tahun. Dalam setiap kehamilan, spesies itu juga hanya mampu melahirkan satu ekor bayi saja. Adapun interval kehamilannya berkisar 8-9 tahun. Padahal, umur hidup spesies itu berkisar 50-60 tahun.
“Ini artinya, setiap betina hanya bisa melahirkan paling tidak, 5-6 anak sepanjang hidupnya,” ujar Indira.
Adapun solusi yang ditawarkan COP yakni berupa pembuatan koridor atau penyambung dari ruang hidup orangutan yang terfragmentasi tersebut. Spesies yang saling terpisah itu perlu dipertemukan demi mencegah terjadinya perkawinan sedarah.
Sementara itu, Adviser Lingkungan PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) selaku pengembang PLTA Batang Toru, Agus Djoko Ismanto mengklaim pihaknya tidak merusak habitat orangutan di Tapanuli. Dia menegaskan pembangunan pembangkit PLTA Batang Toru sudah melalui kajian-kajian yang dipersyaratkan termasuk Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Selain AMDAL, pihaknya juga sudah melaksanakan kajian Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) yang menunjukkan komitmen kuat perusahaan untuk juga mendorong kelestarian flora dan satwa liar. Termasuk mendorong pelestarian Orangutan Tapanuli yang merupakan satwa endemik di hutan Batang Toru.
"Proyek ini dibangun di atas area penggunaan lahan seluas 122 hektar. Perbandingannya amat jauh dengan habitat orangutan yang luasnya hingga 130.000 hektar," ungkapnya dalam keterangan pers seusai menghadiri Kongres Nasional Primata 2019 di UGM.
Menurut Agus, ada petugas yang melakukan monitoring terkait pergerakan orangutan. Apabila ada orangutan yang berada di dekat lokasi pengerjaan, menurut standar operasional proyek, pengerjaan itu akan dihentikan sementara.
“Ini untuk memastikan kondisinya aman. Kami memastikan dia tidak terganggu. Tetap aman, walau dia cari makan di situ,” kata Agus.
Agus menambahkan, kerja sama juga dijalin dengan pihak-pihak lain untuk melakukan penanaman tanaman pangan bagi orangutan. Itu menjadi ganti atas sebagian pohon yang terenggut proyek itu. Penanaman juga dilakukan di lahan masyarakat.
Menurut Agus, PLTA Batang Toru mendorong penggunaan energi terbarukan, sehingga dinilainya tak akan merusak lingkungan. Adapun PLTA Batang Toru itu bakal berkapasitas 510 megawatt. Itu juga merupakan salah satu program strategis nasional untuk mencapai target pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt di seluruh Indonesia.
Selain itu, Agus menyampaikan, kajian mengenai rencana pembangunan proyek tersebut sudah dilakukan sejak 2008. Kajian itu mencakup analisa lingkungan dengan adanya proyek itu. Namun, jika ada pihak-pihak lain yang mempunyai fakta lain terhadap proyek itu, ia siap terbuka untuk berdialog membahas persoalan itu.
“Kami ini sangat terbuka. Artinya, kalau ada yang punya pendapat lain, dialog saja. Mereka punya data apa, kami cocokkan sehingga datanya bisa sinkron,” kata Agus.
Emmy Hafild, mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada 1996-1999 yang mendampingi Agus Djoko Ismanto menambahkan, fragmentasi pada habitat orangutan Tapanuli sudah terjadi lebih dahulu dibandingkan pelaksanaan proyek PLTA Batang Toru. Proyek itu dinilainya bukan menjadi penyebab fragmentasi spesies itu.
“Fragmentasi itu sudah terjadi dengan adanya Sungai Batang Toru. Terus, ada Jalan Trans Sumatera. Spesies itu sudah terfragmentasi sejak lama,” kata Emmy.
Dia menambahkan, PLTA itu justru memberikan manfaat karena mengolah energi terbarukan. Hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana membuat orangutan tapanuli bisa hidup berdampingan dengan pengoperasian PLTA. Apabila memang ada lahan pangan orangutan yang berkurang akibat proyek itu, pihak perusahan harus menyediakan lahan pangan tersebut.