Menyibak Bayang-bayang Kepunahan Silek
Silek, silat khas Minangkabau, beberapa tahun terakhir terancam punah akibat minimnya regenerasi. Di Agam, Sumatera Barat, bayang-bayang kepunahan ini berusaha disibak.
Silek, silat khas Minangkabau, beberapa tahun terakhir terancam punah akibat minimnya regenerasi. Di Agam, Sumatera Barat, bayang-bayang kepunahan ini berusaha disibak. Silek dimaknai sebagai nilai luhur yang mesti dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Minang.
Walau belum selincah pesilek dewasa, penampilan pasangan Fahri Elvianda (11) dan Cakra Abima (10) siang itu mengesankan. Tepisan, serangan, dan kuncian yang diperagakan di atas pentas ringkas, tetapi indah. Mereka juga tak gentar bermain-main dengan pisau. Koreografi duel yang ditunjukkan menuai tepuk tangan riuh.
”Butuh satu bulan belajar gerakan-gerakan itu,” kata Cakra, siswa kelas V SD 01 Maninjau, Jumat (30/8/2019). Bersama rekannya, Fahri, siswa kelas VI sekolah yang sama, mereka mengikuti festival silek pelajar dan sasaran, rangkaian Silek Art Festival 2019, di Pasar Rabaa, Koto Kaciak, Agam.
Festival silek pelajar dan sasaran atau tempat latihan itu diikuti seratusan pesilek laki-laki dan perempuan dari 20 SD-SMP serta 16 sasaran di Agam. Fahri dan Cakra merupakan satu dari empat pasangan yang mewakili perguruan Satria Muda Maninjau. Fahri, sebagaimana rekannya Cakra, belajar silek sejak dua tahun lalu. Keduanya mengenal silek di sekolah. Mereka merupakan murid pertama dari program silek masuk sekolah yang dicetuskan Pemerintah Kabupaten Agam sejak 2017.
Menurut Fahri, awalnya ia hanya ikut-ikutan teman memilih ekstrakurikuler silek di sekolah. Namun, perlahan-lahan ia mulai mencintai dan serius menekuni silek. Saat belajar silek, Fahri mengaku tak hanya diajari bela diri, tetapi juga nilai-nilai kedisiplinan, kejujuran, dan menghargai orang lain.
”Siapa yang berantem kena hukum. Disuruh push up 100 kali. Dalam silek, kami diajari bela diri, bukan berkelahi,” kata Fahri yang pernah menjadi juara silek dalam Olimpiade Olahraga Siswa Nasional tingkat kabupaten tahun 2019.
Kecintaan terhadap silek juga diungkapkan Taufiqur Rahman (16), pesilek dari Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyyah Canduang, Agam. Di tengah kegandrungan pemuda lain terhadap bela diri dari luar, Taufiq yang duduk di kelas X SMA memantapkan hati menekuni silek.
Dia mulai tertarik dengan silek sejak kelas VI SD. Menurut Taufiq, silek unik dibandingkan dengan yang lain. Selain belajar teknik bela diri, murid di sasaran ditanamkan pula nilai-nilai agama dan adat Minangkabau.
Yang paling membuat Taufiq terkesan yakni filosofi silek bahwa ”lahir silek mencari kawan, batin silek mencari Tuhan”. Artinya, secara lahir, silek dipelajari untuk membangun hubungan baik dengan orang lain, bukan mencari musuh. Sementara secara batin, silek mesti membuat seseorang lebih religius.
”Sejak belajar silek, saya diajari untuk arif menyikapi masalah. Jika diganggu orang, saya tidak langsung membalas, coba menghindar dulu. Kalau sudah keterlaluan, baru dihadapi,” kata Taufiq.
Terancam punah
Keberadaan para pesilek muda di Agam itu seolah menjadi oase di tengah ancaman kepunahan silek yang bergaung belakangan. Di Agam, setidaknya, silek punya masa depan cerah karena pewarisan silek terus berlangsung. Keberadaan silek di Sumbar terancam punah dipicu berbagai faktor. Pemicunya mulai dari kegandrungan generasi muda pada bela diri luar hingga guru silek yang terkesan pilih-pilih murid.
Pada artikel Kompas (24/12/2003) berjudul ”Silat Tradisi Minangkabau Terancam Punah” disebutkan, generasi muda lebih tertarik mempelajari bela diri luar karena mudah dikuasai. Adapun silek tradisi Minang dinilai rumit, filosofinya tinggi, bahkan sang guru (pandeka atau tuo silek) tak jarang dinilai pelit memberikan ilmu terbaik.
Ironisnya, masih di artikel yang sama, disebutkan bahwa perguruan silek tradisi Minang di luar negeri pada masa itu justru berkembang pesat dengan jumlah murid mencapai lebih dari 20.000 orang. Muncul kekhawatiran bahwa orang Minang akan berguru ke luar negeri jika silek benar-benar punah.
Apalagi, umumnya pandeka atau tuo silek di Sumbar sudah uzur dan jumlahnya pun terus berkurang, hingga tersisa sekitar 70 orang. Kepunahan silek dikhawatirkan bakal berdampak pada kesenian tradisi lainnya. Sebab, silek ibarat ibu dari beragam kesenian tradisi Minang. Gerakan silek menurun pada tari, randai, dan menyusup ke beragam bentuk kesenian lain.
Ketua Persatuan Pencak Silat Talago Biru Indonesia cabang Agam, Rahmadsyah, mengatakan, generasi muda lebih menyukai bela diri luar, seperti taekwondo, kungfu, dan muay thai, karena secara kasatmata jurusnya dipandang lebih keren. Sementara di masa lampau, guru-guru silek hanya memperagakan bunga-bunga atau gerakan dasar silek. ”Yang ditampilkan hanya seperti gerakan menari. Itu yang membuat anak muda tidak tertarik,” kata Rahmadsyah yang juga guru silek di Sasaran Tanjung Raya, Agam.
Berangkat dari kesadaran itu, para tuo silek pun mulai berinovasi. Gerakan yang diperagakan kepada umum tidak lagi bunga-bunga, tetapi mulai menampilkan gerakan mamacah atau kuncian. Gerakan itu jauh lebih atraktif dan menegangkan, yang tentunya menarik minat pemuda. Meskipun demikian, kata Rahmadsyah, tidak semua jurus boleh ditampilkan kepada publik. Tetap ada jurus pamungkas atau dikenal dengan istilah ”nan sapiciak” yang menjadi rahasia setiap perguruan.
Selain itu, pengenalan silek mulai masuk ke sekolah sejak 2017. Silek tradisi menjadi ekstrakurikuler (ekskul) wajib di setiap SD dan SMP di Agam. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Agam, Isra, mengatakan, SD yang menyelenggarakan ekskul silek sudah 75 persen, sedangkan SMP hampir 100 persen. Di Agam, terdapat 447 SD dan 61 SMP.
”Silek tidak hanya bela diri dan pertunjukan, tetapi juga berintikan pembentukan karakter. Pengajaran silek di sekolah sangat relevan dengan program pemerintah pusat terkait revolusi mental melalui penguatan pendidikan karakter di sekolah,” kata Isra. Agam saat ini punya kurikulum silek untuk SD dan SMP. Kurikulum dirancang oleh tuo-tuo silek berkolaborasi dengan dinas pendidikan. Kurikulum mengatur dasar-dasar yang harus diajarkan, sedangkan pengembangan bergantung pada aliran setiap sasaran.
Pengajaran disesuaikan dengan kelompok usia. Di tingkat SD, misalnya, sebagai pengenalan, siswa tak melulu latihan silek. Pada waktu tertentu, siswa diberi waktu bermain agar tidak membosankan. Sesekali mereka diajak berkemah, menjelajahi alam, atau ke kota untuk latihan sambil jalan-jalan.
”Yang penting mereka tertarik dulu. Itu upaya menggaet mereka agar tidak lagi main gim di warnet atau gawai,” ujar Rahmadsyah. Dia menilai, masuknya silek ke sekolah cukup ampuh memulihkan eksistensinya. Pertumbuhan murid baru di Sasaran Talago Biru Tanjung Raya, misalnya, mencapai 50 persen dalam tiga tahun terakhir.
Selain mengenalkan silek, sekolah berperan pula memberikan pemahaman kepada orangtua agar memperbolehkan anaknya belajar silek. Selama ini orangtua kerap menjadi hambatan pewarisan silek.
Menurut Rahmadsyah, kebanyakan orangtua punya stigma bahwa silek merusak fisik anak. Orangtua berpandangan anak yang ikut silek bisa terkena asma akibat sering dibanting saat berlaga atau latihan. Anggapan itu keliru karena di perguruan, siswa diajari olah pernapasan dan olah tubuh sehingga risiko merusak fisik minim.
Dukungan pemerintah
Perkembangan signifikan dalam pewarisan silek di Agam tidak terlepas dari dukungan pemerintah di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat. Pemkab Agam, misalnya, terus berupaya menerapkan berbagai kebijakan untuk mengembalikan eksistensi silek. Selain silek masuk sekolah, setiap nagari juga didorong memiliki minimal satu sasaran silek.
Nagari (kelurahan/desa), kecamatan, dan kabupaten mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pelestarian silek setiap tahun. Pemkab juga memberikan bantuan dan pembinaan terkait tata kelola sasaran kepada tuo-tuo silek.
”Upaya itu disambut baik seluruh lapisan masyarakat dan pihak sekolah. Ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya lebih dari 160 sasaran silek di 82 nagari dan sekolah-sekolah Kabupaten Agam. Di Sumbar, tak ada yang sesubur Kabupaten Agam,” ujar Bupati Agam Indra Catri.
Provinsi Sumbar melalui dinas kebudayaan memberikan penghargaan kepada para tuo silek yang berdedikasi untuk pelestarian silek. Merasa perjuangan mereka dihargai, semangat tuo-tuo silek di sasaran lainnya pun ikut terpantik untuk mengajarkan silek.
Sementara itu, pemerintah pusat mendukung melalui Silek Art Festival yang diselenggarakan sejak 2018. Festival ini bagian dari Platform Indonesiana. Platform tersebut inisiatif Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendorong sekaligus memperkuat upaya pemajuan kebudayaan melalui gotong royong penguatan kapasitas daerah dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan budaya.
Wakil Gubernur Sumbar Nasril Abit mengapresiasi upaya Kabupaten Agam melestarikan silek. Ia berharap upaya serupa dapat diikuti daerah lain. Pewarisan silek kepada generasi muda juga dapat mencegah kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba. ”Kalau banyak sasaran, tempat pelatihan silek, generasi muda tidak akan masuk ke dunia narkotika dan tawuran. Mereka akan sibuk berlatih. Pendidikan karakter dalam silek sangat kami harapkan bisa diterapkan,” kata Nasrul.
Keberanian Pemkab Agam memasukkan silek ke sekolah patut diikuti daerah lain. Selain sebagai warisan budaya, silek juga terbukti berdampak positif pada pendidikan karakter. (YOLA SASTRA)