Konsumsi Milenial Bisa Menopang Perekonomian RI
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi rumah tangga, terutama dari kelompok generasi milenial berusia 19-39 tahun, akan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap di atas 5 persen. Konsumsi domesik dipacu dengan pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal yang tepat sasaran.
Dalam laporan bertajuk ‘Peringatan Pertumbuhan Ekonomi Semakin Rendah’ yang dirilis Kamis (19/9/2019) waktu setempat, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) kembali memangkas pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9 persen tahun 2019 dan 3 persen tahun 2020.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi kali ini adalah yang terlemah sejak krisis keuangan 2007-2008. OECD telah mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global sebanyak dua kali tahun ini. Pada Maret 2019, perekonomian global diperkirakan tumbuh 3,3 persen pada tahun 2019 dan 3,4 persen di tahun 2020.
Baca juga: Konsumsi Rumah Tangga Menopang Pertumbuhan Ekonomi
Koreksi terhadap perekonomian global berimbas pada kondisi ekonomi domestik. OECD juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,1 persen menjadi 5 persen pada tahun 2019 dan 2020. Pemerintah pun menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada tahun 2019 dan 5,3 pada tahun 2020.
Kepala Ekonom UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja, Jumat (20/9/2019) di Jakarta, mengatakan, saat ini stimulus pertumbuhan ekonomi yang paling memungkinkan adalah dari konsumsi rumah tangga. Indonesia masih sulit mengandalkan kinerja ekspor dan investasi di tengah kemelut perang Dagang AS-China dan potensi resesi global.
“Tren penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi tentu mensinyalkan tidak baik. Namun, masih ada potensi dari pasar domestik yang bisa dioptimalkan,” kata Enrico.
Menurut Enrico, ada segmen spesifik dalam konsumsi domestik yang mesti dibidik pemerintah, yaitu generasi milenial berusia 19-39 tahun. Dominasi kelompok generasi ini mencapai 44 persen dari jumlah tenaga kerja aktif atau sekitar 90 juta orang. Pertumbuhan pendapatan generasi milenial mencapai 8,6 persen pada 2010-2019.
Konsumsi generasi milenial bisa ditingkatkan dengan penyaluran kredit ke sektor-sektor baru, seperti di bidang industri kreatif, kosmetik, pariwisata, dan kuliner. Penyaluran kredit akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang sedang terindikasi melemah. Selain itu konten impor dari sejumlah sektor baru itu cenderung rendah.
“Generasi milenial dapat mendongkrak perekonomian RI karena cukup inovatif dan memiliki karakteristik jiwa wirausaha yang tinggi. Mereka perlu didukung,” kata Enrico.
Baca juga: Konsumsi Rumah Tangga Digenjot
Hal ini sejalan dengan rekomendasi OECD bahwa setiap negara disarankan menempuh kebijakan yang sesuai dengan kondisi dalam negeri. Perlemahan pertumbuhan perdagangan, terutama di Asia, akan menahan kinerja ekspor Indonesia. Namun, konsumsi domestik akan tetap kuat sejalan dengan penurunan suku bunga, dan angka kemiskinan.
Pelonggaran kebijakan
Dalam laporannya, OECD secara tersirat menyarankan negara-negara berkembang, seperti India, Meksiko, Brasil, Rusia, dan Indonesia, untuk melakukan pelonggaran kebijakan seiring tingkat inflasi yang rendah.
Pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal diperlukan untuk menjaga volatilitas nilai tukar dan mengelola utang valuta asing.
Enrico berpendapat, pelonggaran kebijakan fiskal diperlukan untuk menahan laju pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5 persen. Ruang fiskal masih cukup leluasa karena defisit APBN per Juli 2019 masih 1,14 persen produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp 183,7 persen. Defisit APBN bisa diperlebar dengan tetap hati-hati.
“Defisit APBN di bawah 2,5 persen PDB masih dalam kategori aman selama defisit keseimbangan primer diupayakan terus menyempit,” kata Enrico.
Pelebaran defisit APBN dimanfaatkan untuk penyaluran subsidi dan bantuan langsung tunai yang sifatnya produktif. Tujuannya untuk meningkatkan konsumsi penduduk miskin, bukan sekadar menurunkan angka kemiskinan. Langkah ini juga untuk memberi perhatian bagi generasi milenial dari kelompok penduduk miskin.
Baca juga: Pacu Konsumsi, Generasi Milenial Kelas Menengah Dibidik
Di sisi lain, lanjut Enrico, transmisi penurunan suku bunga Bank Indonesia membutuhkan waktu 8-12 tahun. Perbankan masih berhati-hati dalam menurunkan bunga kredit karena risiko dari kondisi perekonomian global dan domestik cukup besar. Untuk itu stimulus dari pelonggaran kebijakan fiskal diperlukan lebih dahulu.
Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sejak tahun 2018 instrumen APBN digunakan untuk kontra siklus antisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan fiskal yang ekspansif tetap dilakukan untuk memacu pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan memberi insentif fiskal di bidang ekspor dan investasi.
“Proyeksi defisit APBN tahun 2019 akan melebar dari target menjadi 1,93 persen PDB. Sebelumnya, target defisit 1,82 persen PDB,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah juga terus mewaspadai setiap dinamika ekonomi global dan respons negara-negara di dunia. Setiap gejolak yang muncul dikhawatirkan berdampak terhadap perekonomonian Indonesia. Untuk itu, fokus kebijakan tetap untuk menjaga stabilitas dan memperkuat fundamen ekonomi dari tekanan global.
Koreksi ekonomi global
Chief Economist OECD Laurence Boone mengatakan, perekonomian global dihadapkan pada kondisi perlemahan yang semakin serius. Perlambatan pertumbuhan ekonomi global menimbulkan kekhawatiran semua pihak. Perekonomian seluruh negara angora G20, termasuk Indonesia, diproyeksikan terus melemah.
Baca juga: Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Dipangkas, Indonesia Dapat Bertahan
“Kondisi ketidakpastian ini dipicu tensi perang Dagang AS-China yang berpotensi jangka panjang, sehingga menurunkan aktivitas perekonomian global. Untuk itu pemerintah perlu menurunkan suku bunga untuk menarik investasi di bidang infrastruktur,” ujar Boone.
OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,9 persen tahun 2019 dan 3 persen tahun 2020. Adapun pertumbuhan ekonomi kelompok negara anggota G20 sebesar 3,1 persen tahun 2019 dan 3,2 persen tahun 2020.
Risiko perekonomian global juga makin tinggi karena dipicu drama keputusan Brexit yang berpotensi mengakibatkan resesi di Inggris tahun 2020, perlambatan pertumbuhan ekonomi China, dan peningkatan utang yang tinggi serta kualitas kredit yang memburuk. Kolaborasi kebijakan fiskal dan moneter jadi kunci untuk menarik investasi.
Baca juga: Waspadai Tren Pelebaran Defisit Pada Triwulan II
Secara terpisah, Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi, terutama di beberapa negara maju, seperti India dan China, mendorong perlemahan aktivitas manufaktur global. Hal itu mengakibatkan pasar keuangan global bergejolak.
“Investasi portofolio bergeser ke aset yang lebih aman, seperti komoditas emas,” kata Febrio.
Bagi negara yang tergantung modal asing, seperti Indonesia, kondisi itu menyebabkan volatilitas nilai tukar. Sepanjang Agustus 2019, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah sekitar 2 persen.
Imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia tenor 10 tahun dan 1 tahun juga meningkat menjadi masing-masing sebesar 7,6 persen dan 6,3 persen.