Koalisi masyarakat mendesak pihak-pihak terkait memanfaatkan waktu penundaan pengesahan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. menjadi Ini momentum untuk menelaah kembali sejumlah pasal kontroversial.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Pradipta Pandu Mustika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat mempertimbangkan usulan Presiden Joko Widodo menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Penundaan itu diharapkan bisa menjadi momentum untuk menelaah kembali sejumlah pasal kontroversial.
Ketua DPR Bambang Soesatyo di Jakarta telah berkomunikasi dengan beberapa pemimpin fraksi mengenai penundaan pengesahan RKUHP. Mereka sepakat mengkaji kembali permintaan tersebut. Menurut rencana, RKUHP akan disahkan menjadi KUHP melalui rapat paripurna yang digelar pada Selasa, 24 September. Penjadwalan resmi terlebih dulu dilakukan melalui rapat Badan Musyawarah DPR pada Senin, 23 September.
”Kami menyambut baik apa yang disampaikan Presiden. Akan tetapi, saya belum bisa bicara (pengesahan RKUHP) akan ditunda atau dibatalkan karena masih perlu dibahas pada rapat internal DPR nanti,” kata Bambang.
Wacana penundaan ini bertentangan dengan sikap DPR dan pemerintah sebelumnya. Meski masih ada sejumlah pasal kontroversial dan penolakan publik terus terjadi, kedua pihak telah menyepakatinya dalam forum pengambilan keputusan tingkat pertama pada Rabu, 18 September lalu.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, pada dasarnya pengesahan undang-undang harus didasarkan pada kesepakatan DPR dan pemerintah. Jika salah satu pihak belum menyetujui, pengesahan tidak bisa dipaksakan. Sebagai anggota fraksi pendukung pemerintah, ia pun sepakat dengan usulan tersebut.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinton Pasaribu, pun mengaku tidak mempermasalahkan permintaan Presiden. Dinamika yang terjadi di masyarakat dalam menilai rancangan rujukan hukum pidana itu dinilai perlu diperhatikan. Selain menunda pengesahan, DPR dan pemerintah juga perlu menjelaskan sejumlah pasal yang kontroversial dan dipertanyakan masyarakat.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, menghormati permintaan Presiden. Ia berharap, Presiden bersedia menunggu keputusan DPR terhadap usulan penundaan RKUHP. Sebab, RKUHP telah melalui proses pembahasan panjang hingga pengambilan keputusan tahap pertama.
Menurut Nasir, penundaan pengesahan RKUHP juga harus didasarkan pada rasionalitas, bukan emosi sesaat. ”Jika penundaan hanya karena tekanan, tentu tidak sehat bagi iklim pembentukan perundang-undangan,” ujarnya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, permintaan Presiden Joko Widodo untuk menunda pengesahan RKUHP didasarkan pada eskalasi kemarahan publik. Namun, ia berharap Presiden tidak hanya menunda waktu pengesahan, tetapi juga benar-benar membahas ulang pasal-pasal bermasalah dan multitafsir yang berpotensi mengganggu kehidupan sosial masyarakat.
Berdasarkan catatan kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP (ICJR, Elsam, ICW, AJI Indonesia, LBH, YLBHI, dan Kontras), terdapat lebih dari 20 pasal yang masih bermasalah dalam RKUHP.
Pasal yang bermasalah tersebut, antara lain mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 2 dan 598); hukuman mati (Pasal 67, 99, 100, dan 101); pengaturan makar (Pasal 167); penghinaan presiden, pemerintahan yang sah dan lembaga negara (Pasal 218, 219, 240, 241, 353, dan 354); tindak pidana agama (Pasal 304); dan kesusilaan (Pasal 417 dan 419).
Selain itu, terdapat juga pasal bermasalah yang mengatur kriminalisasi perempuan yang melakukan pengguguran (Pasal 470-472); tindak pidana peradilan atau contempt of court (Pasal 281 dan 282); tindak pidana penghinaan (Pasal 440-449); tindak pidana korupsi (Pasal 604-607); dan pelanggaran HAM berat (Pasal 599 dan 600).
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengapresiasi keinginan Joko Widodo menunda pengesahan RKUHP. Langkah tersebut dinilai tepat karena masih ada banyak pasal yang perlu dibahas dan diperbaiki.
Ia mengusulkan agar Presiden membentuk Komite Ahli Pembaruan Hukum Pidana yang melibatkan semua elemen masyarakat sipil. Contohnya, akademisi lintas disiplin yang terkait di antaranya kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat.
”Keberadaan komite itu penting untuk menjaga kebijakan hukum pidana yang dibuat dalam pemerintahan ini, supaya selalu sejalan dengan prinsip demokrasi konstitusional, dibahas secara komprehensif, dan mendapatkan dukungan dari masyarakat,” kata Anggara.