Hanya 20 Persen Penduduk Indonesia yang Mengerti Gaya Hidup Sehat
Kementerian Kesehatan menyebut, hanya 20 persen dari total penduduk Indonesia yang menerapkan gaya hidup sehat. Sementara berbagai macam penyakit dan ancaman kesehatan angkanya terus meningkat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan menyebutkan, hanya 20 persen dari total penduduk Indonesia yang mengerti gaya hidup sehat. Sementara berbagai macam penyakit dan ancaman kesehatan, seperti tengkes (stunting) hingga obesitas, angkanya terus meningkat.
Gerakan masyarakat atau germas hidup sehat yang telah dikampanyekan pemerintah sejak 2017 dinilai belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam meningkatkan status gizi masyarakat. Butuh rekonstruksi pemahaman yang masif di masyarakat agar gerakan ini menjadi kebiasaan dan pola perilaku yang dipastikan berjalan secara konsisten.
”Masyarakat kita hanya sekitar 20 persen yang menerapkan gaya hidup kesehatan. (Kondisi saat ini) stunting masih ada, obesitas meningkat, PTM (penyakit tidak menular) meningkat. Padahal, ini bisa dicegah kalau kita mau mengubah pola gaya hidup menjadi sehat,” tutur Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek di Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Nila menuturkan, gerakan masyarakat hidup sehat perlu kembali dikampanyekan secara masif bersama-sama seluruh masyarakat. Setidaknya ada enam hal utama yang menjadi pokok dari gerakan ini, yakni cek kesehatan secara rutin, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik minimal 30 menit sehari, diet seimbang, istirahat cukup, dan mengelola stres dengan baik.
Menurut ahli cizi Dr Tan & Remanlay Institute, Tan Shot Yen, kampanye gerakan masyarakat hidup sehat perlu digalakkan secara masif dengan pendekatan budaya lokal. Pendekatan ini penting untuk memastikan masyarakat paham.
Untuk itu, para penyuluh harus memiliki keterampilan komunikatif yang interaktif. Hal ini termasuk keterampilan yang perlu dimiliki oleh petugas dan tenaga kesehatan.”Jangan lagi gunakan pendekatan agar masyarakat patuh. Kalau paham berarti disadari sehingga dilakukan tanpa beban di dalam kehidupannya sehari-hari,” katanya.
Ia mengatakan, pendidikan, pelatihan, dan penyampaian konten terkait germas yang selama ini digalakkan belum menggunakan cara yang tepat. Kampanye terkait germas, seperti isi piringku dengan gizi seimbang, pemberian makan bayi dan anak (PMBA) yang baik, serta perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), tidak akan berjalan jika hanya disampaikan di ruang seminar.
Kampanye ini perlu disertai dengan simulasi kasus, keterampilan di lapangan, serta kontrol dan pemantauan rutin. Oleh karena itu, kompetensi tenaga kesehatan yang berhadapan langsung dengan masyarakat menjadi sangat penting, terutama petugas yang berada di puskesmas ataupun posyandu.
Kondisi yang terjadi saat ini justru kampanye peningkatan gaya hidup sehat, seperti makan sayuran dan buah, tertutupi oleh informasi produk makanan olahan yang tidak sehat. Iklan dan promosi produk makanan olahan membanjiri masyarakat, sementara iklan pola makan sehat sedikit dijumpai.
”Cara mudah bisa melalui ajakan dari Ibu Negara untuk menanam sayur dan buah di rumah. Indonesia kaya akan sumber pangan. Dengan menanam sumber makanan sendiri akan lebih mudah mengelola makanan sehat tersebut. Ini bagus bagi kampanye hidup sehat bagi masyarakat,” ucapnya.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari menambahkan, germas harus dibudayakan dalam kehidupan masyarakat. mulai dari keluarga. Kebiasaan yang buruk sejak kecil bisa dibawa sampai usia dewasa sehingga berpotensi memiliki beban penyakit di masa depan.
Jumlah masyarakat dengan penyakit yang semakin besar dapat menjadi beban ekonomi bagi negara. Produktivitas masyarakat pun menurun. Capaian bonus demografi bangsa juga sulit didapatkan karena penduduk usia produktif tidak optimal.
”Untuk itu, germas diharapkan mampu mengingatkan masyarakat untuk menjaga kesehatan. Germas menjadikan masyarakat untuk membudayakan hidup sehat agar mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan atau perilaku tidak sehat menjadi lebih sehat,” katanya.