Gerakan Sekolah Menyenangkan Dorong Perubahan Paradigma Pendidikan
Paradigma pendidikan di sekolah saatnya diubah guna menumbuhkan budaya belajar kritis, kreatif, mandiri, dan menyenangkan. Perubahan paradigma itu antara lain mencakup perubahan peran guru dalam pembelajaran di sekolah.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS – Para guru dan pemangku kepentingan terkait diajak mengubah paradigma pendidikan di sekolah guna menumbuhkan budaya belajar kritis, kreatif, mandiri, dan menyenangkan. Perubahan paradigma itu antara lain mencakup perubahan peran guru dalam pembelajaran di sekolah.
“Apa yang kami lakukan pertama kali di Gerakan Sekolah Menyenangkan adalah mengubah paradigma pendidikan,” kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, dalam kunjungan ke SMP Negeri 2 Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (20/9/2019).
Gerakan Sekolah Menyenangkan merupakan gerakan sosial untuk melakukan pembaharuan di bidang pendidikan. Gerakan itu diinisiasi oleh Muhammad Nur Rizal dan istrinya, Novi Poespita Candra, sejak 2013. Rizal merupakan dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, sedangkan Novi dosen Fakultas Psikologi UGM.
Kunjungan ke SMPN 2 Sleman itu dalam rangka melihat implementasi konsep pendidikan Gerakan Sekolah Menyenangkan. Dalam kunjungan tersebut, hadir pula Menteri Pendidikan Negara Bagian Victoria, Australia, James Merlino dan rombongan. James Merlino hadir karena Rizal dan Novi menginisiasi Gerakan Sekolah Menyenangkan setelah melihat proses pendidikan di Melbourne, ibu kota Victoria.
Rizal memaparkan, dalam paradigma pendidikan lama, guru menjadi sosok yang mentransfer pengetahuan kepada murid. Namun, dalam paradigma pendidikan yang baru, guru hanya berperan memfasilitasi murid dalam mendapatkan pengetahuan. “Sebab, saat ini, pengetahuan ada di mana-mana. Internet membuat pengetahuan menjadi mudah diakses,” katanya
Dengan kemudahan mendapatkan pengetahuan itu, Rizal menuturkan, guru memiliki tugas membantu para peserta didik menggunakan pengetahuan yang didapat untuk menciptakan nilai tambah dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini penting agar pengetahuan yang dimiliki para murid benar-benar bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Rizal menambahkan, dalam paradigma pendidikan yang baru, ruang kelas bukanlah ruangan untuk melakukan transfer pengetahuan. Menurut Rizal, ruang kelas harus menjadi rumah kedua bagi para murid. Perubahan ini penting agar para siswa merasa nyaman untuk belajar dan beraktivitas di dalam kelas.
Untuk menciptakan kenyamanan itu, menurut Rizal, ruang kelas mesti ditata sedemikian rupa. Salah satunya dengan memajang foto para murid, foto aktivitas belajar mereka, serta berbagai karya yang dihasilkan murid-murid itu, di ruang kelas. Meski tampak sepele, hal ini penting untuk memunculkan suasana kenyamanan agar para murid menganggap ruang kelas sebagai rumah kedua.
"Karena ruang kelas merupakan rumah kedua, maka foto para murid harus dipasang di sana. Sebab, rumah yang tidak memajang foto para penghuninya bukanlah sebuah rumah," ungkap Rizal.
Sekolah non favorit
Rizal menjelaskan, selama beberapa tahun terakhir, Gerakan Sekolah Menyenangkan berupaya menularkan pemahaman baru mengenai aktivitas pendidikan ke berbagai sekolah. Upaya itu difokuskan ke sekolah-sekolah yang dianggap sebagai non favorit atau bahkan termasuk sekolah pinggiran.
Fokus pada sekolah non favorit itu dipilih karena Gerakan Sekolah Menyenangkan ingin mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan antara sekolah yang dianggap favorit dan sekolah non-favorit. Selama ini, kesenjangan antara sekolah favorit dan non-favorit memang sangat terasa.
Sebab, sekolah favorit biasanya memiliki perlengkapan dan infrastruktur yang memadai, para pengajar yang berkualitas, serta murid-murid yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Sementara itu, sekolah-sekolah pinggiran menghadapi berbagai masalah yang membuatnya sulit berkembang.
Namun, Rizal menyatakan, berbagai masalah itu seharusnya tidak menghambat proses pendidikan. "Lokasi yang terpencil, sekolah yang kecil, atau status non-favorit, tidak seharusnya menjadi penghambat dalam platform pendidikan Indonesia," ujar dia.
Apalagi, Rizal menilai, sekolah-sekolah pinggiran sebenarnya memiliki potensi besar untuk berkembang karena mereka justru tak punya beban untuk mengadopsi hal-hal baru. Itulah kenapa, Gerakan Sekolah Menyenangkan mencoba menyasar ke sekolah-sekolah pinggiran.
"Justru sekolah-sekolah pinggiran itu memiliki potensi yang tak kalah dari sekolah favorit. Mereka justru tidak terlalu punya beban mental untuk mengadopsi hal-hal baru seperti perubahan mindset (pola pikir) dan orientasi pendidikan di era digital ini," tutur Rizal.
Hingga sekarang, konsep pendidikan yang digagas Gerakan Sekolah Menyenangkan telah diimplementasikan ke sekolah-sekolah di berbagai kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Khusus di Sleman, terdapat 48 sekolah yang sudah mengimplementasikan model pendidikan dari gerakan tersebut.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman Sri Wantini mengatakan, ke depan, Gerakan Sekolah Menyenangkan diharapkan bisa mendampingi lebih banyak sekolah di Sleman. Hal ini penting agar lebih banyak sekolah di kabupaten tersebut yang kualitas pendidikannya meningkat.
“Supaya bisa kerja sama lebih intensif, nanti akan kami lakukan nota kesepahaman dengan Gerakan Sekolah Menyenangkan,” ujar Sri.
James Merlino menyatakan, konsep pendidikan yang digagas Gerakan Sekolah Menyenangkan memiliki kesamaan dengan proses pendidikan yang dijalankan di sekolah-sekolah di Victoria. Dia menyebut, model pendidikan semacam itu akan menghasilkan peserta didik yang bahagia, sehat, dan antusias untuk belajar.
“Prestasi akademik memang penting, tetapi yang juga penting adalah memastikan murid merasa senang dan terlibat aktif dalam proses belajar,” ujar Merlino.