Rancangan Undang-Undang Pertanahan mengandung inkonsistensi dalam rangkaiannya. Rancangan undang undang itu juga menjadi rancu tentang maksud hak menguasai dari negara atas tanah karena menyimpang dari maksud semula.
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Rancangan Undang-Undang Pertanahan mengandung inkonsistensi dalam rangkaiannya. Sejumlah pertimbangan bagus di bagian awal tak dirumuskan dalam isi tubuh rancangan undang-undang itu. Rancangan tersebut juga menjadi rancu tentang maksud hak menguasai dari negara atas tanah karena menyimpang dari maksud semula.
Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) yang tak konsisten antara pertimbangan dan isi itu menunjuk pada kekuasaan negara amat besar atas tanah sehingga RUUP ini tak selayaknya disahkan periode ini. Apalagi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan aturan pelaksanaannya masih ada dan berlaku.
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada Maria SW Sumardjono dan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menyatakan hal itu saat dihubungi Rabu (18/9/2019), secara terpisah, di Jakarta.
Pertimbangan terwujudnya keadilan dalam akses dan pemanfaatan tanah (keadilan agraria) belum dirumuskan dalam RUUP. ”Pihak yang kuat diberi banyak kemudahan dengan cara melanggar TAP MPR Nomor IX/2001 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) serta berpotensi melanggar konstitusi,” kata Maria.
Sementara pertimbangan yang menyebut UUP dibuat untuk melengkapi UUPA malah menghapus beberapa pasal, misalnya tentang pengakuan akan hukum adat. ”Kondisi ini fatal. Sebab, pertimbangan adalah landasan perumusan dalam pasal-pasal RUU. Alasan dan tujuan pembentukan undang-undang ada di pertimbangan. Jika antara pertimbangan dan rumusan pasal tak nyambung, bagaimana jadinya,” ujarnya.
Kepemilikan tanah
Terkait hak menguasai dari negara (HMN), Maria dan Dewi menegaskan, HMN yang tak berarti negara memiliki tanah telah menyimpang artinya. Sebab dalam RUUP itu, tak jelas batas kewenangan negara menyelenggarakan hak menguasai, merumuskan kebijakan, mengatur, mengelola, dan mengawasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat pada Pasal 4.
”Kewenangan itu meliputi apa saja isinya. Itu harus diatur rinci karena merupakan mandat yang diberikan bangsa kepada negara. Jadi pelaksanaannya harus ada aspek akuntabilitas negara,” ujarnya.
Kewenangan itu meliputi apa saja isinya. Itu harus diatur rinci karena merupakan mandat yang diberikan bangsa kepada negara. Jadi pelaksanaannya harus ada aspek akuntabilitas negara.
Dewi menambahkan, HMN tidak berarti negara menjadi pemilik tanah. Pada Pasal 73 disebutkan, lembaga pengelolaan tanah yang berhak memberi tanah bagi enam hal dalam rangka pemenuhan keadilan. Enam hal itu meliputi kepentingan umum, kepentingan sosial, pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria serta keadilan Pertanahan.
Maria menilai definisi setiap kondisi itu tak jelas. Jika RUUP tidak disahkan, hal itu tak menjadi persoalan lantaran UUPA dan aturan pelaksanaannya masih berlaku. Perlu perubahan mendasar dan komprehensif dan penyusunannya mesti melibatkan semua pemangku kepentingan. ”Intinya, pembuatan undang-undang ini harus transparan dan partisipatif,” katanya.
Menanggapi pernyataan Menteri Agraria Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil bahwa prosesnya menyeluruh dengan mengajak berbicara banyak pihak, Maria mengatakan, pihak Universitas
Gadjah Mada menerima sosialisasi tanpa diskusi setelah pemaparan oleh kementerian terkait.
”Hanya sosialisasi (di kampus-kampus), bukan konsultasi publik dan dibuka pembahasan bersama gerakan masyarakat sipil serta guru besar agraria,” kata Dewi.