Pemerintah belum memastikan penerapan pajak progresif kepemilikan tanah lebih dari satu bidang. Sri Mulyani juga tak menyebut ketentuan pajak progresif tanah masuk dalam RUU tentang Fasilitas dan Ketentuan Perpajakan.
Oleh
karina isna irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah belum memastikan penerapan pajak progresif untuk kepemilikan tanah lebih dari satu bidang. Aturan perpajakan baru masih dalam tahap penyusunan dan penyelarasan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, saat ini pemerintah tengah menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Fasilitas dan Ketentuan Perpajakan untuk penguatan perekonomian RI. Berbagai aturan baru yang akan dimuat dalam RUU masih harus diselaraskan.
”Kami akan pelajari dulu perihal pembatalan pajak progresif tanah dan implikasinya. Kebijakan perpajakan dirancang untuk mendukung perekonomian domestik,” kata Sri Mulyani seusai acara wisuda lulusan Politeknik Keuangan Negara STAN di ICE Bumi Serpong Damai, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (19/9/2019).
Informasi penerapan pajak progresif untuk kepemilikan tanah lebih dari satu bidang bergulir di publik sepekan terakhir. Dengan skema itu, semakin banyak tanah yang dimiliki, maka tarif pajak akan semakin tinggi. Tujuannya untuk mengendalikan kepemilikan lahan dan mencegah spekulan tanah.
Sri Mulyani juga tidak memastikan ketentuan pajak progresif tanah masuk dalam RUU tentang Fasilitas dan Ketentuan Perpajakan. Dia hanya menegaskan bahwa RUU disusun untuk menggenjot kinerja ekspor dan investasi yang lesu. RUU ini berisi ketentuan sejumlah insentif fiskal dan beberapa aturan pajak baru.
”Kalau ada beberapa kebijakan muncul, kami akan pelajari sehingga bisa sinkron untuk menggenjot investasi dan ekspor,” kata Sri Mulyani.
Secara terpisah, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil dalam Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rabu lalu, menyatakan, pengenaan pajak progresif atas kepemilikan tanah batal diterapkan karena khawatir mengganggu iklim bisnis properti.
Pengenaan pajak progresif atas kepemilikan tanah batal diterapkan karena khawatir mengganggu iklim bisnis properti.
Menurut Sofyan, ketentuan pajak progresif sudah dihapus dalam RUU Pertanahan. Meski demikian, upaya mencegah aksi spekulan tanah tetap dilakukan dengan proses pendaftaran tanah. Mereka yang terbukti sebagai spekulan tanah akan dijerat hukum pidana.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pengenaan pajak progresif memerlukan payung hukum. Hal itu karena jenis pajak atas tanah melibatkan kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
”Sayang sekali jika pajak progresif ini dibatalkan karena instrumennya sudah ada. Tinggal nanti ruang tarifnya dibuat lebih fleksibel,” ujar Prastowo.
Sayang sekali jika pajak progresif ini dibatalkan karena instrumennya sudah ada. Tinggal nanti ruang tarifnya dibuat lebih fleksibel.
Saat ini ada beberapa jenis pajak tanah, antara lain Pajak Penghasilan (PPh) pengalihan hak atas tanah/bangunan (PPh Final) yang dipungut pemerintah pusat dan bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (BPHTB) yang dipungut daerah.
Ada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor P3 (Perhutanan, Perkebunan, dan Pertambangan) yang dikelola pusat serta PBB Sektor P2 (Perdesaan dan Perkotaan) yang dikelola pemerintah daerah.
Menurut Prastowo, secara prinsip pengenaan pajak progresif ini dapat diterapkan. Namun, persoalan asimetri kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah perlu segera diurai.
Untuk mengatasi aksi spekulasi, misalnya, PPh Final dan BPHTB dapat dioptimalkan dengan skema tarif final progresif. Pemerintah juga dapat mengenakan PBB tarif progresif untuk lahan yang tidak dimanfaatkan.
”Langkah ini sebagai bentuk disinsentif setiap tahun untuk lahan yang menganggur. Meski demikian, UU PBB serta UU Pajak Daerah dan Retribusi daerah perlu diubah,” ujarnya.