Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Menjadi Jalan Damai di Papua
Pengelolaan sektor kehutanan oleh masyarakat Papua bisa menjadi jalan untuk ketenteraman Papua. Terlebih, selama ini kekayaan sumber daya alam yang terkandung di daratan Papua belum mampu menyejahterakan masyarakat.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengelolaan sektor kehutanan oleh masyarakat Papua dinilai bisa menjadi jalan untuk ketenteraman Papua. Terlebih, selama ini kekayaan sumber daya alam yang terkandung di daratan Papua belum mampu menyejahterakan masyarakat Papua.
Wakil Bupati Keerom, Provinsi Papua Piter Gusbager mengatakan, ketenteraman sosial-politik di tanah Papua bisa ditempuh dengan menyejahterakan masyarakat adatnya. Sektor kehutanan menjadi salah satu pintu masuk melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
“Kalau masyarakat sejahtera, tidak akan ada teriakan-teriakan miring yang mereka dengungkan karena mereka telah merdeka secara ekonomi,” kata Piter dalam lokakarya Pelaksanaan dan Pendampingan Community Logging di Papua yang dilangsungkan di Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Menurut Piter, pemerintah pusat seharusnya bisa melihat hal tersebut sebagai peluang sebab ada beberapa intervensi yang perlu mereka lakukan terkait izin pengelolaan hasil hutan. Selain itu, dengan menyejahterakan masyarakat, propaganda-propaganda yang menyatakan pemerintah gagal mengurus Papua tidak akan muncul.
Kalau masyarakat sejahtera, tidak akan ada teriakan-teriakan miring yang mereka dengungkan karena mereka telah merdeka secara ekonomi
Selama ini hutan menjadi kekayaan terbesar yang dimiliki oleh masyarakat Papua. Kendati demikian, sektor kehutanan belum juga memberikan kontribusi yang optimal untuk ekonomi daerah dan masyarakat sehingga mereka tetap berada dalam jerat kemiskinan.
“Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan saat ini miskin di atas kekayaan,” ujar Mantan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Marthen Kayoi.
Langkah baik sebenarnya sudah ditempuh oleh pemerintah daerah. Pada 2008, Pemerintah Provinsi Papua sebetulnya telah menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Aturan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Berlandaskan aturan tersebut, Gubernur Papua kemudian mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Di dalamnya diatur mengenai Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA).
Belum dimanfaatkan
Sekretaris Asosiasi Pengusahaan Hutan Hukum Adat Masyarakat Papua di Sarmi Septinus Cores Maban mengatakan, meski telah berjalan selama 10 tahun, masyarakat masih belum bisa memanfaatkan hasilnya secara penuh. Hal ini karena IUPHHK-MHA tersebut belum diakui oleh pemerintah pusat.
Kelompok masyarakat yang sudah mengantongi izin tetap tidak bisa menjual kayu-kayu tersebut ke luar Papua. Sebab, mereka harus mengurus faktur terlebih dulu. Adapun, pengurusan faktur tersebut membutuhkan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) dari kementerian terkait.
“Kami hanya bisa menjadi penonton, dimana kayu-kayu diangkut oleh korporasi menggunakan alat berat,” katanya.
Menurut World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, masyarakat selama ini hanya mendapatkan keuntungan dari premi yang nilainya tidak seberapa. Harga satu kubik Kayu Merbau (instia sp) di Eropa misalnya, bisa mencapai Rp 15 juta. Namun, laba yang didapatkan masyarakat hanya sekitar Rp 600 ribu.
Harga satu kubik Kayu Merbau (instia sp) di Eropa misalnya, bisa mencapai Rp 15 juta. Namun, laba yang didapatkan masyarakat Papua hanya sekitar Rp 600 ribu.
Alternatifnya, masyarakat menjual kayu-kayu tersebut kepada sesama warga di kampung untuk kebutuhan pembuatan rumah. Jika tidak, kayu-kayu tersebut mereka olah menjadi produk meubel agar tetap memiliki nilai jual. Kini, Septinus dan banyak masyarakat adat berharap disetarakan dengan pihak korporasi.
“Padahal, kami tidak menggunakan alat berat seperti yang lain. Aturan pemanfaatan hutan secara lestari juga sudah kami buat,” ujarnya.
Tidak cukup
Menurut Dosen Bidang Hukum Tata Negara Universitas Cenderawasih Papua Yusak Elisa Reba, pemerintah daerah sebetulnya sudah memiliki legalitas hukum yang kuat untuk mengendalikan pengelolaan hutan masyarakat adat Papua melalui Perdasus. Namun, itu tidak cukup karena diperlukan kesepakatan dari pemerintah pusat.
“Seharusnya pemerintah pusat memberikan pernyataan tegas. Apakah Perdasus diakui atau tidak, jangan berada di wilayah abu-abu,” ujarnya.
Berdasarkan analisisnya, Perdasus dan IUPHHK-MHA sebetulnya berisi mengenai aturan pemanfaatan hasil hutan yang berkelanjutan. Seluruh aktivitas pengelolaannya diatur agar tidak dikelola secara sembarangan lantaran telah mengedepankan prinsip kelestarian.
Direktur Program Papua WWF-Indonesia Benja Mambai mengatakan, selama izin uji coba IUPHHK-MHA, tidak banyak terjadi deforestasi dan degradasi. Selain itu, kasus pembalakan hutan haram di wilayah konsesi adat juga tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan, masyarakat mampu menjaga kelestarian hutan dengan IUPHHK-MHA.
“Terbukti, wilayah hutan aman bersama kemampuan masyarakat mengelola wilayah adatnya,” katanya.