Pengusaha pembakaran arang pasrah mengikuti aturan. Mereka bersedia menutup sendiri usaha yang dikerjakan bertahun-tahun. Mereka menunggu kepastian langkah pemerintah berikutnya untuk membina hingga bisa berusaha.
Oleh
Stefanus Ato/AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Pasrah dan sedih. Itu kata yang keluar dari mulut pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah pembakaran arang batok kelapa, di Jalan Inspeksi Cakung Drain, Cilincing, Jakarta Utara, saat ditanyai tentang rencana mereka ke depan. Setelah 20-an tahun bergantung hidup dengan menjual arang, pada akhirnya mereka dipaksa merobohkan lapak usaha mereka sendiri.
Sudirman (59), pengusaha arang, menatap kosong drum-drum yang biasanya digunakan membakar batok kelapa menjadi arang. Satu bulan yang lalu, di tempat itu ia bersama istrinya setiap saat sibuk melawan perihnya asap demi memastikan batok kelapa di dalam drum itu terbakar sempurna.
Tubuh mereka saat lagi bekerja kadang kala tak dikenali. Semuanya hitam dipenuhi bekas debu arang yang menempel di kulit hingga pakaian. Namun, di balik hitamnya tubuh, ada pemasukan ratusan rupiah yang selalu menanti setiap hari.
”Setiap hari, arang yang habis dipesan pelanggan itu bisa empat sampai lima karung. Satu karung saya jual dengan harga Rp 110.000,” katanya, Kamis (19/9/2019), di Cilincing, Jakarta Utara.
Namun, penghasilan bernilai ratusan rupiah per hari itu telah hilang. Sejak Rabu, mereka diimbau Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara untuk segera membongkar lapak usaha mereka lantaran aktivitas pembakaran yang dilakukan selama ini mencemari udara.
Asap itu juga mengganggu aktivitas warga, masuk ke kawasan persekolahan, hingga diduga menyebabkan seorang guru berinisial AP (48) terserang penyakit pneumonia akut. Di satu sisi, tempat mereka menjalankan usaha juga berdiri di atas lahan negara yang seharusnya diperuntukkan sebagai jalur hijau.
Sejumlah dampak yang ditengarai berasal dari asap batok kelapa membuat mereka tak bisa melawan. Mereka memilih patuh, membongkar lapak usahanya, tetapi berharap diberi pembinaan agar usaha mereka jangan sampai binasa.
”Tubuh kami sekarang entah sampai kapan mungkin nanti selalu bersih. Tetapi nasib kami tidak jelas, hitam,” kata lelaki Madura, Jawa Timur, itu, dengan mata berkaca-kaca.
Sementara itu, Bahar (62), pengusaha lain, berharap pemerintah segera menemukan solusi agar pengusaha arang yang lapaknya dibongkar nasibnya tak terkatung-katung. Sedikitnya ada 75 kepala keluarga yang hidup bergantung pada usaha pembakaran arang batok kelapa untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan anak-anaknya.
Meski dituding sebagai biang pencemar udara, mereka sebenarnya memiliki sumbangsih yang tak kalah sedikit bagi pertumbuhan ekonomi rakyat. Setiap hari, batok kelapa di sebagian besar pasar tradisional Jakarta diangkut dan dikirim ke sana.
”Batok kelapa yang kami pesan bisa sampai 25 mobil pikap per hari. Itu kami beli dengan harga satu karung Rp 25.000. Artinya, kami membantu pemerintah mengurangi sampah,” kata Bahar. Distribusi batok kelapa yang telah diolah menjadi arang itu juga kian meluas. Ada banyak restoran dan rumah makan yang memasok arang dari tempat itu.
Bahar mengklaim, bahwa setiap diadakan kegiatan Pekan Raya Jakarta (PRJ), dia bersama pengusaha lain di Cilincing merupakan pemasok utama arang bagi para peracik kerak telor di PRJ. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak membantu mencari solusi bagi pengusaha kecil di sana.
Menurut Neni (42), pengusaha batok arang, meski dijanjikan untuk dibina, belum ada jaminan terkait langkah-langkah yang akan ditempuh pemerintah. Secara khusus, dia mengaku belum ada pembicaraan serius dengan pemerintah setelah pembongkaran itu.
”Masih janji saja. Dua minggu lalu katanya mau dikasih modal usaha. Sekarang rencana mau dikasih alat pengurang asap, tetapi belum jelas. Katanya masih dipikirkan selama satu minggu,” ucap perempuan Makassar itu.
Sementara itu, Camat Cilincing Muhammad Alwi mengatakan, mereka tak mematikan usaha rakyat. Usaha masih boleh dilakukan asalkan proses pembakaran tidak menimbulkan asap.
Atas pertimbangan itu, penertiban juga tidak sampai menggusur, tetapi hanya membongkar cerobong asap. Tujuannya, alat dan bahan baku batok kelapa yang ada masih bisa dipakai untuk kembali melakukan usaha.
”Jadi, kami sudah ada pendekatan untuk pengadaan alat dan itu ada di dua tempat di Bekasi dan Tasik. Alat itu bisa dimanfaatkan untuk membakar arang tanpa ada asap,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Cipta Karya, Pertanahan, dan Tata Ruang DKI Jakarta Heru Hermawanto menyampaikan, meski usaha itu ada di lahan negara, pemerintah tak bisa serta-merta merelokasi karena bergesekan langsung dengan mata pencarian penduduk. Oleh karena itu, dibutuhkan penataan kawasan menyeluruh, baik secara ekonomi masyarakat, tata ruang, maupun lingkungan.
”Makanya harus bijak menghadapi ini. Mereka dibina dulu. Kalau itu memang hunian, nanti ditetapkan dengan kondisi-kondisi perbaikan lingkungan. Intervensi lingkungan apa yang bisa dilakukan sehingga penanganannya komprehensif. Jadi, lingkungan tidak rusak, mata pencarian warga pun tetap hidup,” kata Heru, Rabu (18/9/2019).
Pengamat perkotaan Hendricus Andy Simarmata dari Universitas Indonesia menuturkan, polemik pencemaran udara di Cilincing yang melibatkan warga dan pelaku industri arang tidak harus terjadi jika pemerintah berpegang pada peraturan daerah. Dari sisi planologis, masih dimungkinkan pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah berdampingan dengan hunian. Namun, ada prasyarat infrastruktur lingkungan tambahan yang harus dipenuhi, seperti pengaturan jenis industri rendah polutan.
Selain itu, tata ruang mempunyai perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Jika pemanfaatannya tidak sesuai rencana, harus diperhatikan aspek pengendaliannya. Instrumen pengendalian itu, seperti perizinan, karena merupakan alat kendali industri yang diizinkan.
”Jika berdasarkan peraturan zonasi, peruntukan harus dilihat persyaratan dan keterbatasan atau justru industri tidak boleh sama sekali ada di situ,” katanya.
Ia menuturkan, ketidakpastian usaha yang dihadapi pengusaha kecil itu membutuhkan kehadiran Dinas Industri untuk membantu teknik pembakaran. Sementara Dinas UMKM membantu dari skala cara usaha, penjualan, distribusi, dan lainnya.