Empat Bank Sentral Umumkan Kebijakan Suku Bunga, Indonesia Tak Perlu Agresif Merespons
Pemerintah tetap mewaspadai setiap dinamika ekonomi global dan respons setiap negara di dunia. Setiap gejolak yang muncul dikhawatirkan berdampak terhadap perekonomonian Indonesia.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Indonesia tidak perlu merespons setiap perubahan yang tercipta dalam perekonomian global. Hal terpenting adalah menjaga stabilitas ekonomi makro dalam jangka pendek dan menengah.
Pada Kamis (19/9/2019), ada empat bank sentral yang mengumumkan kebijakan suku bunga acuan, yaitu Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed), Jepang (Bank of Japan/BoJ), Inggris (Bank of England/BoE), Hong Kong (Hong Kong Monetary Authority/HKMA), dan Indonesia (Bank Indonesia/BI).
Bank sentral AS dan Hong Kong kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps masing-masing menjadi 1,75-2 persen dan 2,25 persen. Adapun keputusan bank sentral Jepang menahan suku bunga acuan jangka pendek negatif 0,1 persen.
Sementara itu, konsensus ekonom, seperti dikutip dari laman Bloomberg, memproyeksikan bank sentral Inggris menahan suku bunga acuan sebesar 0,75 persen. Adapun Bank Indonesia menurunkan suku bunga sebesar 2,5 basis poin menjadi 5,25 persen.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di sela-sela acara wisuda lulusan Politeknik Keuangan Negara STAN di ICE Bumi Serpong Damai, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (19/9/2019), mengatakan, kondisi ekonomi global yang dinamis menciptakan respons kebijakan di berbagai negara. Salah satunya, penurunan suku bunga acuan oleh bank sentral Amerika Serikat, Jepang, China, dan Uni Eropa untuk mengantisipasi perlemahan pertumbuhan ekonomi.
”Indonesia harus memantau langkah antisipasi yang dilakukan masing-masing negara sampai dengan tahun depan. Namun, Indonesia tidak perlu terus-menerus bereaksi terhadap setiap keputusan,” ujar Sri Mulyani.
Pemerintah tetap mewaspadai setiap dinamika ekonomi global dan respons setiap negara di dunia. Setiap gejolak yang muncul dikhawatirkan berdampak terhadap perekonomonian Indonesia. Untuk itu, fokus kebijakan tetap untuk menjaga stabilitas dan memperkuat fundamen ekonomi dari tekanan global.
Sri Mulyani menjelaskan, upaya menjaga stabilitas dan memperkuat fundamental ekonomi tak cukup hanya dengan penurunan suku bunga acuan. Kebijakan moneter perlu diimbangi kebijakan fiskal dan perdagangan yang ekspansif. Berbagai insentif fiskal diberikan agar produktivitas pelaku usaha naik.
Di sisi lain, lanjut Sri Mulyani, dampak penurunan suku bunga, seperti yang ditempuh The Fed, terhadap perekonomian paling cepat terasa satu tahun kemudian. Sentimen negatif bagi kondisi ekonomi AS juga berasal dari sisi kebijakan fiskal dan perdagangan.
The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 1,75-2 persen pada Kamis (18/9/2019) siang waktu setempat, atau Kamis dini waktu Indonesia barat (WIB). Pemangkasan suku bunga acuan ini dilakukan untuk kedua kalinya sejak 2008.
Mengutip pernyataan hasil Komite Operasi Pasar Terbuka (FOMC) The Fed, langkah ini diambil sebagai kebijakan moderat untuk mendukung ekspansi perekonomian AS, mendorong pencapaian inflasi kisaran target 2 persen, dan mengantisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan, ruang penurunan suku bunga lebih lanjut masih terbuka sepanjang hal itu diperlukan. ”Kami mengambil langkah ini untuk membantu menjaga ekonomi AS tetap kuat dalam menghadapi beberapa perkembangan penting dan untuk menyediakan asuransi terhadap risiko yang berkelanjutan,” katanya.
Arus modal
Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, penurunan suku bunga The Fed ditambah ketegangan perang dagang AS-China yang mereda akan mendorong investasi portofolio masuk ke pasar Indonesia. Meski demikian, ketidakpastian kebijakan moneter AS masih tetap tinggi dan sulit diprediksi pasar.
”Terlepas dari perkembangan tersebut, kami melihat bahwa The Fed akan terus melanjutkan sikap kebijakan jinaknya atau dovish,” kata Febrio.
Menurut Febrio, perlambatan pertumbuhan ekonomi, terutama di beberapa negara maju, seperti India dan China, menyebabkan aktivitas manufaktur global melemah. Hal ini turut mengakibatkan gejolak di pasar keuangan global dan mendorong pergeseran Investasi portofolio ke aset yang lebih aman (safe haven), seperti komoditas emas.
Rentetan fenomena tersebut berimbas pada perlemahan kurs rupiah terhadap dollar AS sebesar 2 persen sepanjang Agustus 2019. Imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia tenor 10 tahun dan 1 tahun juga meningkat menjadi masing-masing sebesar 7,6 persen dan 6,3 persen pada Agustus 2019.
”Seiring ketegangan perang dagang AS-China yang mereda, masih ada kecenderungan imbal hasil obligasi tenor 10 tahun menurun hingga 7 persen pada akhir tahun,” kata Febrio.