BI Pangkas Suku Bunga dan Longgarkan Likuiditas
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang berlangsung 18-19 September 2019 memutuskan untuk kembali menurunkan BI 7-day reverse repo rate (BI 7DRRR) sebanyak 25 basis poin ke level 5,25 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia melanjutkan kebijakan pemangkasan suku bunga acuan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi domestik. Agar semakin efektif memicu pertumbuhan konsumsi, kebijakan suku bunga dibaur dengan pelonggaran makroprudensial sebagai jaminan ketersediaan likuiditas.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang berlangsung 18-19 September 2019 memutuskan untuk kembali menurunkan BI 7-day reverse repo rate (BI 7DRRR) sebanyak 25 basis poin (bps) ke level 5,25 persen. Penurunan 25 bps juga dilakukan pada suku bunga deposit facility menjadi 4,5 persen dan suku bunga lending facility menjadi 6 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, sejak awal 2019, otoritas moneter telah mengerahkan seluruh kebijakan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan moneter juga selalu dibuat dengan mempertimbangkan potensi dampak gejolak ekonomi global terhadap ekonomi domestik.
”Berlanjutnya tensi pedagangan AS-China, risiko geopolitik, dan perlambatan ekonomi global perlu diantisipasi dengan bauran kebijakan akomodatif agar tidak mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Perry saat menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Upaya untuk menjaga dampak negatif perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi domestik dilakukan dengan cara menjaga pertumbuhan konsumsi dalam negeri. Setiap stimulus moneter yang dikeluarkan BI, lanjut Perry, bertujuan untuk menjaga gairah konsumsi masyarakat.
Keputusan pemangkasan suku bunga acuan dilakukan sejalan dengan terkendalinya inflasi dan terjaganya daya tarik imbal hasil investasi aset keuangan dalam negeri. Secara tahunan, inflasi Agustus 2019 tercatat 3,49 persen. Adapun imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun masih berada di kisaran 7,27 persen.
Selain memangkas suku bunga acuan, untuk menambah daya tarik pembiayaan, BI juga menurunkan ketentuan uang muka melalui pelonggaran rasio loan to value (LTV) sebanyak 5 persen untuk properti dan 5-10 persen untuk kendaraan bermotor. BI menargetkan pelonggaran ini dapat berlaku efektif 2 Desember 2019.
Rasio LTV adalah rasio pinjaman maksimal yang dapat diberikan bank dalam menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB).
Baca juga: Memanfaatkan Celah
Jika sebelumnya ketentuan pinjaman maksimal KPR untuk rumah tapak dan rumah susun berkisar 70-85 persen dari harga properti, dengan adanya pelonggaran ini batas pagu akan meningkat menjadi 75-90 persen dari harga properti.
Adapun untuk kendaraan bermotor, ketentuan uang muka yang sebelumnya berkisar 20-30 persen dari harga kendaraan dilonggarkan menjadi 15-25 persen dari harga kendaraan. Di luar itu, akan ada tambahan keringanan uang muka sebesar 5 persen untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
”Di tengah tren penurunan suku bunga, kami memandang kebijakan LTV akan semakin efektif bersama bauran pelonggaran likuiditas,” kata Perry.
Untuk memperkuat bauran kebijakan dalam mendorong momentum pertumbuhan ekonomi, BI juga melakukan relaksasi kebijakan makroprudensial untuk meningkatkan kapasitas penyaluran kredit perbankan dan mendorong permintaan kredit pelaku usaha.
”Dalam menjaga pertumbuhan kredit, ada faktor pasokan dari perbankan dan faktor permintaan dari pengusaha yang perlu diperhatikan. BI akan terus melakukan langkah-langkah akomodatif, baik dari sisi pasokan maupun permintaan,” ujarnya.
Baca juga: Kontribusi Sektor Properti Mesti Lebih Tinggi
Agar ketersediaan likuiditas terjaga, BI melonggarkan aturan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dengan memasukkan komponen pinjaman yang diterima bank di atas 1 tahun sebagai komponen pembiayaan. Dengan begitu, perbankan kini memiliki tiga komponen pembiayaan, yakni dana pihak ketiga (DPK), surat berharga, dan pinjaman yang diterima bank.
”Ini akan menambah ketersediaan pendanaan bank untuk penyaluran kredit hingga Rp 128 triliun. Kami tidak ingin RIM saat ini yang sebesar 93,1 persen menjadi kendala bank dalam menyalurkan kredit,” kata Perry.
Dalam laporan resminya, Chief Economist HSBC ASEAN Joseph Incalcaterra menilai kebijakan moneter punya peran yang lebih menonjol dalam mendorong pertumbuhan. Mengingat transmisi suku bunga acuan membutuhkan waktu, tren penurunan suku bunga acuan BI diprediksi masih akan terus berlanjut.
Akibat pemangkasan suku bunga acuan tidak akan serta-merta diikuti penurunan suku bunga secara langsung, kebijakan moneter tetap membutuhkan bauran kebijakan lainnya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi sekaligus memperkecil defisit transaksi berjalan. Salah satu caranya adalah dengan menggenjot penanaman modal asing (PMA).
Baca juga: Pemodal Asing Akan Menyerbu Indonesia
Berdasarkan data BI, aliran portofolio pada bulan Juli dan Agustus 3,5 miliar dollar AS (Rp 49,3 triliun). Adapun realisasi investasi PMA sepanjang semester I-2019 hanya Rp 212,8 triliun.
”Dibutuhkan reformasi perbaikan iklim investasi untuk meningkatkan PMA. Kegagalan untuk meningkatkan aliran masuk PMA akan berdampak terhadap semakin terbatasnya pelonggaran makroprudensial yang dapat diberikan BI,” ujarnya.