Berbagi Informasi Geospasial demi Kepentingan Nasional
Pemerintah kini telah memberlakukan kebijakan satu peta dalam mendukung pembangunan nasional dan mengurai tumpang tindih pemanfaatan lahan.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
Pemerintah kini telah memberlakukan kebijakan satu peta dalam mendukung pembangunan nasional dan mengurai tumpang tindih pemanfaatan lahan. Kini, saatnya bagi pihak-pihak terkait, terutama pemerintah daerah, saling berbagi informasi geospasial demi kepentingan nasional.
Selama ini informasi geospasial tersebut dikoordinir oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk kementerian, lembaga, pihak swasta, dan masyarakat. Adapun tugas utama BIG adalah menyediakan informasi geospasial dasar (IGD), baik berupa peta rupa bumi, lingkungan pantai, maupun lingkungan laut.
IGD tersebut menjadi rujukan pihak-pihak terkait untuk menyusun peta tematik, seperti peta kehutanan, navigasi, dan lahan baku sawah. Peta tematik kemudian menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan.
Hal ini selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Pengembangan Pembangunan Nasional. Di dalamnya dinyatakan bahwa pembangunan nasional harus melalui pendekatan yang tematik, holistik, integratif, dan spasial.
Artinya, semua pembangunan, khususnya dari pemerintah daerah harus diplot dalam peta dasar untuk menghindari pembangunan yang tidak efektif dan efisien.
”Meski begitu, pembangunan juga harus berlandas pada data statistik, demografi, sosial, dan lingkungan. Data statistik tersebut beragam, bisa data persebaran penduduk, kemiskinan, pendidikan, dan lain sebagainya,” kata Kepala BIG Hasanuddin Z Abidin, di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Analisis data yang salah akan menyebabkan pengambilan kebijakan yang tidak tepat pula. Misalnya, analisis yang salah dalam memetakan luas lahan baku sawah akan berujung pada besaran subsidi pupuk, benih, alat pertanian, dan sebagainya. Contoh lainnya terkait pemetaan lahan perkebunan kelapa sawit yang berefek pada besaran pajak, misalnya.
Hal ini yang melatarbelakangi munculnya kebijakan satu peta. Selama ini, pemetaan tematik belum terkoordinasi secara baik sehingga akurasinya menjadi beragam. Hal ini menimbulkan sejumlah permasalahan, seperti tumpang tindih dan konflik pemanfaatan lahan atau pembangunan di kawasan rawan bencana.
Satu peta
Dorongan Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (KSP) pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 kini telah menghasilkan kebijakan satu peta.
Setidaknya, sudah ada 84 peta tematik nasional yang kini sudah terintegrasi. Peta tersebut melingkupi seluruh provinsi dengan melibatkan 19 kementerian dan lembaga terkait. Hal itu menjadi basis dalam pembangunan berkelanjutan, mitigasi bencana, pengolahan sumber daya alam, pengembangan ekonomi digital, dan sebagainya.
Namun, hal itu belum cukup lantaran dibutuhkan keterlibatan yang lebih masif dari pemerintah daerah. Sebab, sebagian besar kebijakan justru datang dari mereka. ”Prinsipnya, peta-peta tematik dalam kebijakan satu peta tersebut harus bisa diakses oleh satu lembaga dan lembaga lainnya,” ujar Hasan.
Dari hasil integrasi 84 peta tematik tersebut, misalnya, terlihat banyaknya masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan dan rencana tata ruang. Berdasarkan peta indikatif tumpang tindih, Papua dan Maluku memiliki wilayah dengan cakupan tumpang tindih terbesar, yakni 31,2 persen dari total luas wilayahnya. Selanjutnya adalah Bali dan Nusa Tenggara dengan cakupan 27,3 persen dan Sulawesi sebesar 19,6 persen.
”Tumpang tindih pada rencana tata ruang terjadi karena izin yang bisa dikeluarkan oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat,” kata Hasan.
Menurut sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, tumpang tindih lahan sering kali merugikan masyarakat perdesaan yang kehilangan hak atas aset mereka. Tak jarang, hal tersebut menimbulkan berbagai konflik antara masyarakat dan sejumlah pihak, termasuk korporasi.
Pemetaan kembali wilayah penting dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun daerah selaku pemegang wewenang. Selama ini, data dari masyarakat dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) cenderung belum sinkron. Perlu ada komitmen nasional yang harus dikonsolidasikan hingga level kabupaten/kota.
Jaringan geospasial
Di sini pentingnya akses pemerintah daerah terhadap informasi geospasial dalam satu peta. BIG kini tengah berupaya memperkuat simpul Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) dengan meluncurkan InaGEOSPASIAL. Sayangnya, dari 518 kabupaten/kota yang ditargetkan, baru 78 yang terhubung.
Padahal, melalui InaGEOSPASIAL tersebut, kementerian, lembaga, pihak swasta dan masyarakat bisa mengunduh secara gratis peta tematik, peta rupa bumi, peta terdampak bencana. Hal ini diakui masih menjadi pekerjaan rumah bagi BIG.
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menilai upaya tersebut adalah pekerjaan besar yang mesti diselesaikan dalam waktu yang lama. Sinkronisasi menjadi sebuah keniscayaan bagi pemerintah daerah, mulai dari rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana detail tata ruang (RDTR), serta rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL).
Tumpang tindih pada rencana tata ruang terjadi karena izin yang bisa dikeluarkan oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat.
”Hal itu sebagai panduan dalam merancang kota, pemberian izin bangunan, dan pengendalian pemanfaatan ruang,” ujarnya.
Menurut Sekretaris Utama BIG Muhtadi Ganda Sutrisna, InaGEOSPASIAL juga bisa diakses oleh masyarakat. Misalnya bagi masyarakat nelayan yang ingin mengetahui lokasi potensi ikan melalui peta sebaran klorofil, kadar garam, dan sebagainya. Hal itu bisa mengidentifikasi ikan-ikan tertentu.
Peta tersebut bisa disusun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) atau dinas perikanan dan kelautan di daerah. ”Melalui data spasial tersebut, masyarakat menjadi lebih mudah dan efektif untuk menjaring ikan,” ujar Muhtadi.
Kebijakan satu peta menjadi upaya pemerintah dalam mempercepat implementasi satu data antarkementerian. Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo dalam keterangan tertulisnya menilai transformasi digital telah mengubah perilaku masyarakat sehingga menuntut pelayanan dan informasi yang transparan, cepat, dan efektif.
Menurut dia, kunci dari implementasi satu data tersebut ialah dengan membangun komunikasi dan kemitraan yang intensif. Pembenahan sistem pengolahan data berbasis elektronik yang sudah dilakukan juga turut mendukung langkah tersebut.