Adu Strategi Merebut Pasar Besar Ponsel di Indonesia
Memiliki populasi penduduk yang besar dan pertumbuhan akses internet yang tinggi membuat Indonesia menjadi pasar potensial penjualan ponsel.
Memiliki populasi penduduk yang besar dan pertumbuhan akses internet yang tinggi membuat Indonesia menjadi pasar potensial penjualan ponsel. Berbagai cara dilakukan produsen ponsel untuk merebut pasar, termasuk penyelundupan, demi menampilkan harga jual yang murah.
Indonesia merupakan pasar potensial telepon seluler (ponsel). Fenomena ini terlihat dari peningkatan jumlah kepemilikan ponsel masyarakat Indonesia. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 menunjukkan, dua pertiga rumah tangga di Indonesia memiliki ponsel. Jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, jumlah tersebut meningkat sebesar 22 persen.
Pada 2007, Susenas BPS mencatat terdapat 37,6 persen rumah tangga yang memiliki ponsel. Kepemilikan ponsel kembali meningkat menjadi 50 persen pada tahun 2013. Jumlah kepemilikan ponsel kemudian menjadi 59,5 persen pada tahun 2017.
Kepemilikan ponsel lebih banyak didominasi warga perkotaan (67,7 persen). Melihat sebarannya, terdapat lima daerah yang paling banyak kepemilikan ponselnya, yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, dan Bali.
Selain peningkatan kepemilikan ponsel, besarnya pasar ponsel Indonesia juga tergambar dari laporan riset lembaga Canalys. Riset berjudul ”Indonesia Smartphone Market Report Q4 2018” menyebutkan, ponsel pintar yang dikirim dari produsen ke gerai distributor mencapai 38 juta unit.
Jumlah pengiriman tersebut meningkat 17 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Riset tersebut juga menunjukkan bahwa pengiriman ponsel pintar di pasar Indonesia merupakan yang terbesar di wilayah Asia Pasifik.
Gambaran senada juga terlihat dari data The World Factbook 2017. Jumlah ponsel yang beredar di Indonesia berada di posisi ketiga terbanyak di dunia, atau sebesar 458 juta unit. Kepemilikan ponsel di Indonesia berada di bawah China dan India.
Internet
Besarnya pasar ponsel di Indonesia berbanding lurus dengan jumlah penduduk. Fenomena tersebut juga terjadi di negara-negara dengan populasi penduduk yang besar, seperti China, India, dan Amerika Serikat.
Pada 2016, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 258,7 juta jiwa. Berdasarkan hasil survei lembaga We Are Social pada 2016, terdapat 326,3 juta unit ponsel. Jumlah ponsel ini meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk.
Pengguna ponsel pada Januari 2019 mencapai 355,5 juta.
Jumlah ini merupakan 132 persen dari total penduduk Indonesia yang mencapai 268,2 juta orang. Ini berarti setiap orang bisa memiliki telepon genggam lebih dari satu.
Selain faktor perkembangan populasi, meningkatnya kepemilikan telepon genggam juga berkorelasi dengan pertumbuhan akses internet. Ponsel semakin diminati masyarakat karena memberikan kemudahan akses internet.
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan, pengguna internet di Indonesia pada 2018 mencapai 171 juta jiwa. Jumlah ini bertambah sekitar 28 juta jiwa dari tahun sebelumnya, yakni 143,26 juta orang.
Beberapa aktivitas dan hobi masyarakat dapat terbantu dari ponsel, seperti menonton film, menikmati musik, memesan makanan, dan aktivitas jual beli. Kemudahan dan kepraktisan itulah yang membuat 91,5 persen responden Susenas 2017 lebih banyak mengakses internet melalui ponsel ketimbang laptop ataupun komputer.
Daya beli
Melihat manfaatnya, telepon genggam terutama ponsel pintar bukan lagi barang mewah. Ponsel sudah menjadi bagian dari kebutuhan dan dicari masyarakat. Mulai dari ponsel kelas menengah bawah hingga kelas premium memiliki pasar tersendiri.
Riset International Data Corporation (IDC) menunjukkan, pada 2014, ponsel pintar kelas rendah menjadi ponsel dengan penjualan tertinggi. Ponsel pintar kelas ini berada pada kisaran harga kurang dari Rp 1,4 juta.
Berselang dua tahun, ponsel pintar dengan harga Rp 1,4 juta hingga Rp 2,8 juta menggeser posisi kelas rendah menjadi ponsel dengan penjualan tertinggi. Ponsel pintar pada rentang harga ini digolongkan pada ponsel pintar kelas menengah bawah.
Walaupun terjadi peningkatan daya beli, pergeseran tersebut juga menegaskan bahwa kisaran harga ponsel yang masih paling diincar berada pada harga bawah (murah). Di atas ponsel kelas menengah bawah, masih terdapat ponsel kelas menengah, menengah atas, dan premium. Artinya, kisaran harga ponsel pintar yang paling laku masih menunjukkan sensitivitas konsumen ponsel pintar Indonesia terhadap harga.
Di kelas lain, peningkatan penjualan juga terjadi pada ponsel kelas menengah seharga Rp 2,8 juta hingga Rp 5,6 juta. Lonjakan penjualan pada kisaran harga ini cukup signifikan, yakni 684.000 unit pada 2015 menjadi 2,2 juta unit pada 2017.
Bergesernya konsumen ponsel pintar kelas rendah menjadi menengah bawah dari sisi lain menunjukkan kebutuhan kemampuan gawai yang lebih baik.
Gawai dengan spesifikasi lebih baik dapat mengakomodasi kebutuhan pengguna dengan lebih beragam.
Keragaman penggunaan internet tidak hanya sebatas berselancar menggunakan peramban atau browser, tetapi dapat juga digunakan untuk mengakses video streaming dan bermain gim daring.
Kebutuhan masyarakat akan spesifikasi ponsel yang makin berkualitas ditangkap produsen ponsel untuk meraup pasar. Produsen kemudian berlomba-lomba memasang strategi untuk memenangkan pasar, seperti memberikan layanan cicilan pembayaran untuk membeli ponsel dan efisiensi pemasaran untuk menekan harga.
Adu murah
Ketatnya persaingan pasar ponsel di segmen menengah diperebutkan oleh merek Xiaomi, OPPO, dan VIVO. Berdasar data International Data Corporation 2018, OPPO mendominasi penjualan ponsel pada kelas menengah (Rp 2,8 juta-Rp 5,6 juta).
Rerata harga jual produk OPPO pada kisaran Rp 3,1 juta. Di sisi lain, Xiaomi mampu menjual produk dengan kualitas setara OPPO dengan rerata harga Rp 1,8 juta. Keberhasilan Xiaomi menjual ponsel dengan harga murah disebabkan oleh kemampuannya menekan biaya pemasaran, termasuk iklan dan beban distribusi.
Xiaomi menjual produknya terutama melalui perdagangan daring atau online.
Selain itu, Xiaomi juga kerap bekerja sama dengan toko daring untuk menggelar flash sale produk-produk terbarunya. Dengan memanfaatkan jaringan distribusi online, Xiaomi tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi dan operasional ritel.
Di Indonesia, menurut IDC, Xiaomi berhasil mendisrupsi market share ponsel pada 2018. Dalam kurun setahun, Xiaomi mampu meningkatkan ruang pasar sebesar 21 persen. Capaian ini membuat Xiaomi menggeser pesaing terdekatnya, OPPO, menjadi peringkat tiga. Kini market share Xiaomi di Indonesia hanya terpaut 2 persen dengan Samsung.
Persaingan usaha
Dalam kegiatan ekonomi, harga murah akan sangat menguntungkan konsumen. Akan tetapi, pelaku ekonomi juga melibatkan negarasebagai penjaga persaingan usaha. Di Indonesia, ponsel yang dijual dikenai ketentuan yang disebut Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 30 persen.
Kebijakan TKDN ini bertujuan demi kepentingan nasional, yakni menumbuhkan produksi lokal agar dapat bersaing dengan lebih setara. Dengan aturan tersebut, ponsel harus melalui proses produksi di dalam negeri jika akan dipasarkan di Indonesia.
Bagi produsen ponsel luar yang masuk ke Indonesia, aturan TKDN akan menaikkan harga ponsel di tingkat konsumen.
Hal itu menurunkan daya saing ponsel luar dari sisi harga di mata konsumen Indonesia. Oleh karena itu, produsen ponsel pintar merek luar dipaksa untuk menerapkan berbagai strategi agar ponsel pintar mereka masih terjaga dalam kisaran harga psikologis konsumen Indonesia. Alasannya jelas, konsumen Indonesia masih sensitif terhadap harga.
Memangkas biaya distribusi dan promosi memang salah satu cara jitu untuk menekan biaya produksi. Produsen dapat juga memanfaatkan teknologi dalam rantai produksi. Dengan penerapan teknologi tinggi, produksi ponsel yang masih didominasi padat karya bisa digantikan mesin.
Namun, ada pula celah lain menekan harga jual, yaitu praktik penyelundupan. Harga jual ponsel selundupan biasanya lebih murah karena tidak melalui mekanisme pembayaran pajak dan tidak mengikuti skema TKDN.
Bagi investor dan produsen ponsel lokal, praktik penyelundupan jelas menutup daya saing mereka di hadapan konsumen Indonesia. Selain itu, peredaran ponsel selundupan ini mementahkan upaya pemerintah untuk menjaga persaingan usaha. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Ponsel Baru Tidak Selalu Laku