Kenaikan Cukai Tekan Perokok Pemula, Selanjutnya Pembatasan Akses Diperkuat
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau dan harga eceran rokok dinilai mampu menenakan prevalensi perokok pemula. Langkah ini perlu diikuti pembatasan akses rokok pada anak-anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kenaikan tarif cukai hasil tembakau dan harga eceran rokok dinilai mampu menenakan prevalensi perokok pemula. Meki begitu, langkah ini perlu diikuti dengan penguatan upaya pencegahan rokok ilegal serta pembatasan akses rokok pada masyarakat, terutama anak-anak.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, prevalensi merokok pada usia 10-18 tahun 7,2 persen. Pemerintah sebelumnya menargetkan prevalensi perokok pemula bisa menurun jadi 5,4 persen pada 2019. Namun, target itu dinilai sulit tercapai karena prevalensi perokok pemula justru meningkat menjadi 9,1 persen pada 2018.
Direktur Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono menuturkan, kenaikan tarif bea dan cukai rokok menjadi salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk menekan prevalensi perokok pemula yang terus meningkat. Meski begitu, langkah ini bukan menjadi faktor tunggal dalam menurunkan prevalensi tersebut.
“Menurunkan angka perokok pemula tidak hanya dengan menaikkan harga jual dan cukai rokok, namun juga membuat ekosistem yang utuh terkait pengendalian produk tembakau. Jadi, hal-hal untuk membatasi kemudahan masyarakat dalam mendapatkan rokok juga perlu diperkuat. Masyarakat juga harus lebih sadar bahwa rokok tidak ada manfaatnya, bahkan memicu berbagai gangguan kesehatan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Pemerintah memutuskan tarif cukai hasil tembakau atau rokok dari 15 persen menjadi 23 persen. Selain itu, kenaikan harga eceran rokok ditetapkan menjadi rata-rata 35 persen dari harga sebelumnya. Keputusan ini akan berlaku mulai Januari 2020.
Kenaikan tarif bea dan cukai rokok menjadi salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk menekan prevalensi perokok pemula yang terus meningkat
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menuturkan, kenaikan tarif cukai dan harga eceran perlu dicermati secara lebih rinci. Ia menegaskan, kenaikan rata-rata ini akan lebih efektif menurunkan konsumsi rokok dan menaikkan penerimaan negara jika diterapkan secara menyeluruh untuk setiap jenis rokok.
“Sekalipun tidak bisa merata, diharapkan kenaikan terbesar ada pada jenis rokok yang paling banyak dibeli oleh masyarakat yaitu rokok kretek mesin. Market share (pangsa pasar) rokok kretek mesin (SKM) mencapai 73 persen pada 2015. Dari jumlah itu, 63 persen di antaranya merupakan SKM golongan 1,” katanya.
Planning and Policy Spesialist Center for Indonesia’s Strategic Development Inisiatives (CISDI), Yurdhina Melissa mengatakan, besaran kenaikkan tarif cukai rokok ini sebenarnya belum ideal untuk menurunkan konsumsi rokok secara masif. Menurut hitungan Economic and Health Policy Research (EHPR) pada 2016, harga rokok efektif menekan konsumsi rokok Rp 58.831 per bungkus atau sekitar Rp 4.000 per batang. Besaran ini dinilai tidak mampu dijangkau oleh anak-anak dan masyarakat tidak mampu.
“Jika kenaikan cukai yang berlaku 35 persen untuk produk rokok kretek mesin golongan 1, diperkirakan penurunan konsumsi rokok pada jenis ini mencapai 10 persen. Selain itu, penerimaan negara dari tarif cukai rokok jenis ini juga naik sekitar 10 persen,” katanya.