Ekonomi Domestik Butuh Stimulus, Ruang Pelonggaran Suku Bunga Masih Terbuka
Penurunan suku bunga pada bulan lalu menyiratkan kekhawatiran Bank Indonesia (BI) atas risiko perlambatan ekonomi domestik. BI akan fokus mengarahkan kebijakan moneter untuk mendukung pertumbuhan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih memerlukan dorongan stimulus dari sisi moneter berupa penurunan level suku bunga. Perbaikan data perdagangan juga membuka ruang bagi Bank Indonesia untuk kembali memangkas suku bunga acuan yang saat ini berada di level 5,5 persen.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, penurunan suku bunga pada bulan lalu menyiratkan kekhawatiran BI atas risiko perlambatan ekonomi domestik. BI akan fokus mengarahkan kebijakan moneter untuk mendukung pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2019 hanya 5,05 persen, jauh di bawah target APBN sebesar 5,3 persen. Peluang penurunan suku bunga acuan masih terbuka mengingat ekonomi domestik saat ini menarik bagi investor asing.
Hingga akhir Agustus 2019, BI mencatat aliran modal asing masuk ke Indonesia melalui berbagai instrumen portofolio sebesar Rp 180,7 triliun. Lancarnya aliran modal asing yang masuk ke Indonesia menandakan perekonomian nasional masih memiliki prospek yang baik dan investasi imbal hasil yang menarik oleh investor.
Penurunan suku bunga pada bulan lalu menyiratkan kekhawatiran BI atas risiko perlambatan ekonomi domestik. BI akan fokus mengarahkan kebijakan moneter untuk mendukung pertumbuhan.
”Secara keseluruhan kondisi ekonomi domestik tetap kuat dan stabil. Kami melihat bahwa BI perlu melanjutkan stance pelonggaran dengan menurunkan suku bunga kebijakan sebesar 25 bps bulan ini,” ujarnya dalam seri analisis makroekonomi yang disampaikan Rabu (18/9/2019).
Febrio menilai terdapat beberapa tanda perbaikan yang membuat defisit transaksi berjalan mudah dikelola sampai akhir tahun. Perkembangan ini seharusnya membuka ruang bagi BI untuk memberi kelonggaran lebih lanjut pada kebijakan moneter.
Adapun dari sisi eksternal, meredanya ketegangan perang dagang AS-China dan kemungkinan penurunan suku bunga The Fed seusai pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) mendatang juga berkontribusi pada masuknya investasi portofolio ke dalam negeri.
Head of Research Danareksa Moekti Prasetiani menilai, penurunan suku bunga BI akan bergantung pada hasil pertemuan FOMC, bank sentral AS, The Fed, yang kemungkinan besar masih akan kembali menurunkan suku bunga acuan.
”Pemangkasan suku bunga BI akan sesuai dengan sikap preemtif dan ahead of the curve dalam kebijakan moneter,” ujarnya.
Sejalan dengan Febrio, Moekti juga memperkirakan BI akan memangkas suku bunga acuannya 25 bps dalam Rapat Dewan Gubernur BI yang berlangsung 18-19 September 2019. Bahkan, menurut dia, masih terdapat ruang untuk penurunan bunga acuan pada akhir tahun hingga 5 persen.
Pemangkasan suku bunga BI akan sesuai dengan sikap ahead of the curve dalam kebijakan moneter.
The Fed diprediksi akan memangkas suku bunga sebanyak 25 bps menjadi 1,75-2 persen. Moekti percaya bank sentral AS itu akan bersikap melunak atau dovish di tengah ketidakpastian prospek ekonomi AS dan arah kebijakan moneter ke depan.
Meskipun data perdagangan AS positif, bursa saham setempat sempat jatuh karena serangan yang meledakkan fasilitas minyak milik Arab Saudi. Risiko geopolitik yang berkelanjutan seperti perang dagang dan kurva hasil obligasi juga diprediksi akan menekan The Fed.
Sementara itu, ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengingatkan, meski kebijakan BI tengah memasuki tren penurunan suku bunga acuan, dampak pelonggaran moneter terhadap pertumbuhan ekonomi tidak akan dapat dirasakan dalam waktu dekat.
”Tetapi setidaknya, penurunan suku bunga acuan BI bisa mendorong optimisme pelaku usaha yang akan terus meningkatkan produksi di tengah pertumbuhan konsumsi,” ujarnya.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede juga berpendapat bahwa BI akan memangkas suku bunga acuan ke level 5,25 persen. BI dinilai perlu mengambil kebijakan ini mengingat laju inflasi cenderung stabil dan diyakini akan sesuai target BI, yakni di titik tengah 2,5-4,5 persen pada akhir tahun ini.
Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebulan terakhir menurun. Hal ini dapat dilihat dari volatilitas bulanan di bulan September yang turun ke level 6,4 persen dari bulan Agustus, yakni 7,6 persen.
”Ruang pemangkasan suku bunga acuan juga terbuka karena adanya perbaikan defisit neraca transaksi berjalan, seiring dengan surplus neraca perdagangan pada Agustus lalu,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), secara kumulatif Januari-Agustus 2019 neraca perdagangan masih mencatatkan defisit 1,81 miliar dollar AS. Impor Agustus 2019 tercatat turun 8,53 persen dari bulan sebelumnya menjadi 14,2 miliar dollar AS. Adapun kinerja ekspor tercatat 14,28 miliar dollar AS, turun 7,6 persen dibandingkan dengan Juli 2019.
Sepanjang Januari-Agustus 2019, penurunan nilai ekspor tercatat jauh lebih tajam, yaitu minus 8,28 persen dibandingkan dengan penurunan impor yang minus 6,5 persen secara tahunan. Hal itu menunjukkan bahwa kinerja ekspor masih tertekan.