Dicap Tak Suka Menabung, Milenial Ternyata Investor Ritel Terbanyak di Indonesia
Meski dicap ”doyan hura-hura”, generasi milenial masih menyisihkan uang untuk investasi surat utang negara ritel. Jumlah investor milenial bahkan menggeser investor generasi X dan generasi ”baby boomers”.
Oleh
Karina Isna Irawan
·7 menit baca
Persepsi umum dan berbagai survei menunjukkan, kelompok milenial, dengan rentang umur 19-39 tahun, merupakan generasi yang lebih suka mengeluarkan isi dompet untuk kesenangan dan pengalaman, seperti bertualang dan membeli ponsel, ketimbang menabung atau berinvestasi. Bahkan, kelompok ini juga dianggap tak suka menyisihkan uang untuk membeli rumah demi masa depan.
Ternyata, persepsi tersebut tak sepenuhnya benar. Fakta dan data mengungkapkan, minat berinvestasi generasi milenial justru sangat besar sepanjang sesuai dengan kemampuan mereka. Buktinya, generasi ini tercatat sebagai kelompok investor terbesar yang berinvestasi pada surat berharga negara (SBN) ritel sepanjang 2019. Tak sekadar menumpuk harta, generasi milenial ternyata juga membawa idealisme dalam berinvestasi. Milenial akan bersemangat berinvestasi untuk tujuan-tujuan mulia yang lebih besar, seperti membantu negara membangun infrastruktur dan membiayai proyek-proyek demi kelestarian lingkungan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, porsi jumlah investor milenial pada SBN ritel yang diterbitkan sepanjang 2019 mencapai 51,25 persen. Jumlah mereka mengalahkan kelompok investor dari generasi X yang berusia 40-54 tahun dan generasi baby boomers dengan usia 55-73 tahun.
”Kalau dibilang generasi milenial cuma suka hura-hura enggak, kok, kami tetap investasi walaupun sedikit,” kata Uji Medianti (25), karyawan swasta yang mulai berinvestasi SBN ritel sejak awal 2019. Ia mengaku mengalokasikan sekitar 20 persen gajinya setiap bulan untuk investasi.
SBN ritel merupakan jenis surat utang yang diterbitkan negara, yang ditawarkan kepada investor perseorangan dengan nominal investasi yang relatif kecil. Adapun jenis surat utang yang ditawarkan kepada korporasi dengan nominal yang besar dikenal dengan nama SUN (surat utang negara). Berbeda dengan SUN yang memiliki tenor panjang hingga 10 tahun, SBN biasanya memiliki tenor pendek hanya dua-tiga tahun.
Pada 2019, pemerintah berencana menerbitkan SBN ritel 10 kali terdiri dari saving bond ritel (SBR), sukuk tabungan (ST), sukuk ritel (sukri), dan obligasi ritel Indonesia (ORI) dengan target nominal Rp 60 triliun. Hingga 31 Agustus 2019, sudah ada delapan jenis SBN ritel yang diterbitkan dengan dana yang terhimpun mencapai Rp 38,3 triliun. Jumlah investor ritel dalam setiap penerbitan SBN ritel berkisar belasan ribu orang. Sebagai contoh, dalam penerbitan sukuk tabungan ST002 senilai Rp 4,94 triliun, jumlah investor mencapai 16.477 orang.
Jumlah investor milenial cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2017, porsi milenial hanya berkisar 20-23 persen dari total jumlah investor SBN ritel. Pada 2018, porsinya melonjak menjadi 42,22 persen dan meningkat lagi pada 2019 menjadi 51,24 persen.
Lonjakan jumlah investor milenial terjadi tatkala pada 2018 pemerintah mulai memasarkan SBN ritel dengan cara-cara yang sesuai dengan karakter milenial. Nilai investasi minimal per akun diturunkan dari puluhan juta rupiah hingga hanya Rp 1 juta. Ini untuk memberikan kesempatan kepada milenial yang umumnya baru mulai berkarier, belum mapan, dan baru dalam tahap coba-coba dalam berinvestasi.
Selain itu, pemerintah juga mulai memasarkan SBN ritel melalui kanal yang lebih mudah dan akrab dengan milenial, yakni secara daring. Jika sebelumnya nasabah harus datang ke kantor cabang bank untuk berinvestasi, sejak 2018, SBN ritel ditawarkan secara online melalui perusahaan teknologi finansial (fintech), perusahaan efek, dan perbankan. Pemasaran dan kampanye SBN ritel secara daring terbukti ampuh mengingat generasi milenial sangat mudah terpapar media sosial dan aplikasi berbagi pesan.
SBN ritel makin diminati milenial karena investasi ini tergolong sangat aman. Maklum saja, SBN ritel dijamin negara sehingga risiko gagal bayar bisa dibilang nol. Investor juga tak perlu waswas dengan pergerakan pasar keuangan yang naik turun sepanjang SBN ritel dipegang hingga jatuh tempo.
SBN ritel dijamin negara sehingga risiko gagal bayar bisa dibilang nol.
Tingkat bunga atau kupon SBN ritel juga lebih menguntungkan karena memiliki batas minimal yang disesuaikan dengan suku bunga acuan Bank Indonesia. Adapun batas minimal kupon ditetapkan sesuai dengan pembelian pertama yang berlaku sampai dengan jatuh tempo. Karena keuntungan yang lebih menjanjikan inilah Uji mencairkan deposito yang bunganya hanya sekitar 5 persen per tahun untuk dibelikan SBN seri SBR005 yang imbal hasilnya mencapai 8,15 persen per tahun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, nominal investasi milenial berkisar Rp 5 juta-Rp 100 juta per orang. Rata-rata nominal investasi milenial memang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok investor generasi X atau baby boomers yang berkisar ratusan juta hingga miliaran rupiah. Hal ini wajar mengingat generasi X atau baby boomers umumnya lebih mapan dibandingkan dengan milenial. Karena itulah, meskipun lebih besar secara jumlah orang, total nilai nominal investasi milenial masih lebih kecil dibandingkan dengan dua generasi pendahulunya itu. Sebagai contoh pada penerbitan sukuk tabungan. Dilihat dari total jumlah investor, porsi milenial mencapai 50,5 persen, tetapi dari sisi total nilai investasi porsi milenial hanya 17,7 persen.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menuturkan, target yang dibidik bukan lagi nasabah prioritas dengan nilai pembelian SBN ritel ratusan hingga miliaran rupiah. Untuk itu, nilai minimum pembelian SBN ritel diturunkan menjadi Rp 1 juta agar terjangkau milenial.
”Investasi surat berharga negara yang identik untuk investor ’kelas kakap’ akan luntur seiring minat investor milenial yang juga tumbuh,” ujar Luky.
Perencana keuangan Prita Hapsari Ghozie dalam berbagai kesempatan menyebutkan, generasi milenial harus mulai membuat perencanaan investasi, baik jangka pendek satu tahun maupun jangka menengah-panjang 1-5 tahun. Alokasi ideal untuk kebutuhan tabungan dan investasi sekitar 15 persen dari penghasilan bulanan.
Daya tarik
Daya tarik SBN ritel bagi milenial bukan sekadar risiko yang rendah, imbal hasil tinggi, atau bisa dibeli daring, melainkan juga karena memberikan kesempatan kepada para milenial untuk berkonstribusi bagi kemajuan negara. Sebab, dana investor yang dihimpun dari penerbitan SBN ritel ini akan digunakan pemerintah untuk membangun sejumlah program strategis nasional, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Galih Gumelar (28), karyawan swasta yang bergelut di bidang ekonomi, menuturkan, keputusan investasi SBN ritel dilatarbelakangi isu utang pemerintah yang santer disuarakan media dan politikus awal tahun 2019. Saat itu beredar informasi utang pemerintah banyak dari asing.
”Kita sering berkomentar utang pemerintah besar untuk bangun infrastruktur. Kalau sekarang dikasih jalan buat ikut bantu, kenapa enggak. Generasi muda harusnya jangan cuma ngomong,” ujar Galih.
Mengutip riset Morgan Stanley bertajuk ”Sinyal Keberlanjutan, Data Baru dari Investor Individual” yang dipublikasikan pada 2017, saat ini generasi milenial cenderung mengambil keuntungan dari investasi alternatif baru yang fokus pada isu sosial, lingkungan, dan teknologi.
Riset itu menyebutkan, generasi milenial dua kali lebih mungkin daripada investor kelompok lain untuk menanamkan uang mereka dalam investasi di bidang sosial dan lingkungan serta pembangunan berkelanjutan. Milenial akan tertarik pada kebaikan yang lebih besar di masa depan.
Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya, yang juga mitra distribusi SBN ritel, menambahkan, karakteristik investor milenial cenderung maju dan progresif. Dari hasil riset Modalku, pilihan investasi milenial juga kerap mempertimbangkan nilai-nilai idealisme. ”Instrumen surat utang negara ini dianggap cukup nasionalis karena milenial bisa membantu Indonesia,” ujar Reynold.
Tulang punggung
Investor milenial juga menjadi tulang punggung pasar modal dan pasar keuangan Indonesia. Perluasan basis investor milenial harus terus dilakukan karena jumlah mereka akan mendominasi pada masa depan. Untuk itu, kesadaran berinvestasi harus ditumbuhkan sedini mungkin.
Pada 2030-2040, menurut kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia akan mengalami bonus demografi, yaitu jumlah penduduk usia produktif usia 15-64 tahun diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang sebesar 297 juta jiwa.
Kelompok kelas menengah yang didominasi generasi milenial saat ini juga akan tumbuh. Produk domestik bruto (PDB) per kapita pada 2030 diperkirakan mencapai 8.804 dollar AS, sedangkan pada 2040 sebesar 16.877 dollar AS. Indonesia diperkirakan akan keluar dari jebakan kelas menengah tahun 2036.
Luky menambahkan, pendalaman pasar modal dan keuangan terus diupayakan untuk menangkap berbagai peluang tersebut. Untuk itu, fokus pemerintah bukan meningkatkan nominal investasi generasi milenial dalam SBN ritel, melainkan membentuk kebiasaan dalam berinvestasi.
”Penerbitan SBN ritel ini dalam tanda kutip untuk investasi negara juga. Kami memupuk basis investor domestik yang sifatnya lebih berkelanjutan agar fundamen ekonomi makro lebih kuat menghadapi tekanan global,” kata Luky.
Fokus pemerintah bukan meningkatkan nominal investasi generasi milenial dalam SBN ritel, melainkan membentuk kebiasaan dalam berinvestasi.
Basis investor domestik yang terus membesar diharapkan dapat mengurangi porsi penguasaan investor asing terhadap surat utang yang diterbitkan negara. Per akhir Juni 2019, investor asing menguasai sekitar 40 persen dari surat utang negara yang mencapai Rp 3.784,6 triliun. Porsi modal asing yang cukup besar ini tentu sangat berisiko, terutama ketika terjadi pembalikan dana besar-besaran (sudden reversal), yang akan membuat kurs rupiah jatuh sangat dalam.
Karena itulah pemerintah harus terus aktif menciptakan kemudahan-kemudahan agar milenial dapat mengoptimalkan potensinya dalam berinvestasi demi kemajuan negara.