Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional membagikan ayam potong gratis kepada personil Polisi yang berjaga di depan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta, Kamis (5/9/2019). Dalam aksi itu, pengunjuk rasa menuntut Pemerintah untuk turun tangan menyelesaikan permasalahan harga ayam hidup yang anjlok hingga Rp 8.000 per kilogram di tingkat peternak.
Ketika nyali para demonstran surut menghadapi aparat, Lee Kyung-hae nekat memanjat pembatas, lalu melambaikan tangan dari atas pagar. Mantan Ketua Federasi Petani Korea Selatan itu meminta demonstran di belakangnya maju untuk mendobrak pagar saat pertemuan tingkat menteri dari 146 negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berlangsung di Cancun, Meksiko, 10 September 2003.
Lee Kyung-hae kemudian menikam tubuhnya sendiri. Dia akhirnya meninggal dunia di rumah sakit. Tindakannya mengakhiri hidup dianggap sebagai bentuk keputusasaan petani kecil yang menjadi korban perdagangan yang dinilai tidak adil terutama bagi para petani-peternak di negara-negara berkembang.
โKemenangan ini adalah untukmu, Lee Kyung-hae!โ demikian komentar Food First, organisasi nonpemerintah (NGO) dunia penentang perdagangan bebas, atas tindakan yang dianggap sebagai perjuangan pekerja miskin dunia, keluarga petani, suku tertindas, dan penduduk miskin dunia. (Kompas, 23/12/2003)
Kematian itu kemudian diperingati sebagai hari aksi global oleh para petani gurem di dunia, termasuk di Indonesia, yang tergabung dalam La Via Campesina. Pesan serupa disampaikan pada peringatan tahun ini, termasuk oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), dalam rangka menuntut hak-hak petani serta mewujudkan kedaulatan pangan.
Hingga kini cita-cita menggapai kedaulatan pangan masih menghadapi tantangan terkait kebijakan perdagangan bebas. Kelangsungan usaha peternak unggas rakyat, misalnya, kini diliputi ketidakpastian menyusul kekalahan Indonesia atas gugatan Brasil dalam forum di WTO.
Akibat kekalahan itu, Indonesia mesti membuka akses bagi masuknya ayam-ayam dari Brasil yang lebih murah. Padahal, Indonesia tak kekurangan ayam. Produksi ayam dalam negeri mencukupi kebutuhan. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, produksi daging ayam ras tahun 2019 diperkirakan 3,82 juta ton, sementara kebutuhannya diperkirakan 3,25 juta ton. Potensi surplus mencapai 577.918 ton tahun ini.
Oleh karena produksi berlebih, harga di tingkat peternak berulang jatuh, bahkan jauh di bawah ongkos produksinya. Sudah berulang pula peternak berunjuk rasa. Mereka membagi-bagi ayam secara gratis sebagai bentuk protes. Tak sedikit peternak gulung tikar, terutama bagi mereka yang bermodal cekak.
Pemerintah Selandia Baru juga menuntut Indonesia merevisi peraturan di tingkat kementerian sebagai bentuk kepatuhan terhadap Badan Penyelesaian Sengketa WTO. Selandia Baru menilai aturan impor Indonesia tak sesuai prinsip perdagangan bebas, khususnya untuk produk hortikultura serta hewan dan turunannya.
Kuatnya cengkeraman WTO dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan sektor pertanian, menurut Ketua Umum SPI Henry Saragih, tak hanya merusak kedaulatan petani di Indonesia, tetapi juga petani-petani kecil di belahan dunia lain. Upaya WTO mendorong deregulasi, ekspansi modal global di sektor pertanian, dan perdagangan bebas merupakan ancaman terhadap upaya penegakan kedaulatan pangan di suatu negara.
Para petani kecil memang memiliki harapan baru untuk keluar dari situasi itu. Pada 18 Desember 2018, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Daerah Pedesaan (UNDROP) lahir. Deklarasi ini menjadi instrumen hukum internasional untuk melindungi hak petani kecil dan masyarakat pedesaan di seluruh dunia, seperti hak petani atas tanah, air, benih, dan sumber-sumber agraria lain.
Akan tetapi, sejauh mana deklarasi itu berdampak? Kiranya pemerintah perlu mengadopsi isi UNDROP dalam regulasi untuk memperkuat kedaulatan pangan di Indonesia. Harapannya, cukuplah Lee Kyung Hae. Tak perlu ada martir lagi. (MUKHAMAD KURNIAWAN)