Abaikan Kritik, Revisi UU Pemasyarakatan Jalan Terus
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menilai pembebasan bersyarat merupakan hak yang bisa diperoleh semua narapidana, termasuk narapidana korupsi.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG dan PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah dan DPR membantah revisi Undang-Undang Pemasyarakatan bisa melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Padahal, banyak kalangan mengkritik disahkannya revisi itu akan memudahkan narapidana korupsi memperoleh asimilasi atau pembebasan bersyarat.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan, tujuan revisi semata upaya pemerintah untuk membenahi undang-undang yang sejak tahun 1995 belum pernah direvisi.
"Jangan suudzon, nanti semuanya, termasuk RKUHP juga dituding untuk melemahkan pemberantasan korupsi. Inti dari RUU Pemasyarakatan adalah untuk mengakomodasi kemajuan zaman, di negara yang jauh tertinggal dari kita saja reform UU Pemasyarakatan-nya lebih maju dari kita," katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (18/09/2019).
Sebelumnya, pada Selasa (17/09/2019) malam, pemerintah dan DPR telah menyepakati RUU Pemasyarakatan untuk disahkan dalam rapat paripurna.
Dalam RUU Pemasyarakatan, tak lagi mencantumkan syarat rekomendasi lembaga penegak hukum untuk memberikan asimilasi atau bebas bersyarat terhadap terpidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk korupsi.
Aturan itu sebelumnya tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam PP itu diatur asimilasi atau pembebasan bersyarat khusus terpidana kasus kejahatan luar biasa, seperti korupsi, baru diberikan setelah ada rekomendasi dari lembaga penegak hukum yang menangani kasus terpidana bersangkutan.
Yasonna mengatakan, pembebasan bersyarat itu merupakan hak yang bisa diperoleh semua narapidana, termasuk narapidana korupsi. Kalaupun hendak dibatasi, harusnya oleh vonis pengadilan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani juga menepis anggapan revisi UU Pemasyarakatan dibuat untuk meringankan hukuman bagi napi koruptor.
Aturan terbaru dalam UU Pemasyarakatan justru akan menata sistem peradilan sehingga setiap lembaga menjalankan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
“Lembaga yang tupoksinya penyelidikan dan penyidikan tidak boleh ikut campur dalam penuntutan dan peradilan, begitu juga lembaga lain. Lembaga pemasyarakatan yang membina narapidana juga jangan dicampuri lembaga yang tupoksinya menyidik dan menyelidik. Ketika dicampuri ini akan terjadi diskriminasi,” ujar Arsul.
Dia pun yakin pemberian asimilasi atau bebas bersyarat tidak akan sembarangan. Sebab, sudah ada parameter yang dibuat Kemenkumham yang harus dipenuhi terpidana sebelum bisa memperoleh hak tersebut.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan pada tahun 2013 dan 2017, sejumlah pihak berupaya untuk membatalkan PP Nomor 99/2012 dengan menggugatnya ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun, uji materi itu ditolak oleh MA dan MK.
“Oleh karena itu, cara yang paling memungkinkan untuk membatalkan peraturan pemerintah tersebut adalah dengan membentuk undang-undang baru,” ucapnya.