Tensi Memanas, Iran Kembali Tolak Dialog dengan AS
Iran kembali menegaskan penolakannya untuk berdialog dengan Amerika Serikat di tengah memanasnya situasi di Timur Tengah.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
TEHERAN, SELASA — Iran kembali menegaskan penolakannya untuk berdialog dengan Amerika Serikat di tengah memanasnya situasi di Timur Tengah. AS tengah menyiapkan respons atas serangan di kilang minyak Arab Saudi setelah menuding Iran sebagai pelaku utama.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, melalui situs resmi negara itu, Selasa (17/9/2019), mengatakan, kebijakan AS untuk memberikan tekanan maksimal tidak berarti apa-apa bagi Iran. Semua pejabat Iran dengan suara bulat percaya tidak akan ada negosiasi dengan AS pada tingkat apa pun.
”Jika AS \'bertobat\' dan kembali bergabung ke dalam Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA), AS dapat berbicara dengan Iran bersama dengan pihak lain dalam kesepakatan ini. Kalau tidak, takkan ada negosiasi antara pejabat Iran dan AS di tingkat mana pun, baik di New York maupun tempat lain,” kata Khamenei.
Menurut Khamenei, Teheran tidak ingin berbicara dengan Washington dalam kondisi tengah menerima sanksi ekonomi dari AS. Sebab, kondisi ini hanya akan memberi kesan bahwa tekanan AS terhadap Iran berhasil.
Khamenei mengafirmasi pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Mousavi, Senin (16/9), mengenai keengganan Iran untuk berdialog. Beberapa waktu lalu, Presiden AS Donald Trump mengisyaratkan kemungkinan untuk bertemu dengan Presiden Hassan Rouhani dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-74 di New York, AS, 24 September 2019.
Hubungan AS-Iran semakin memanas setelah terjadi serangan pada kilang minyak milik perusahaan Arab Saudi, Aramco, Sabtu (14/9). Kelompok Houthi yang berbasis di Yaman mengklaim sebagai pelakunya. Serangan tersebut mengganggu produksi dan ekspor minyak sehingga memicu kenaikan harga minyak dunia.
”Saya tidak ingin terlibat dalam konflik baru, tetapi kadang-kadang harus. Serangan itu sangat besar dan bisa diikuti oleh serangan yang lebih besar. Tentu saja, kemungkinan besar (pelaku) adalah Iran,” kata Trump.
Menteri Pertahanan AS Mark Esper menambahkan, serangan di kilang minyak melibatkan pesawat nirawak dan kemungkinan rudal jelajah yang diluncurkan dari negara terdekat. Militer AS sedang mempersiapkan tanggapan terhadap insiden itu.
”Militer AS, dengan tim antar-lembaga kami, bekerja dengan mitra untuk mengatasi serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini. Kami berupaya untuk mempertahankan tatanan dunia berdasarkan aturan internasional yang sedang dirusak oleh Iran,” kata Esper melalui Twitter.
Meski demikian, Esper tidak menjabarkan mengenai respons seperti apa yang sedang dipertimbangkan oleh Washington dan sekutu di kawasan. Esper telah bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman serta Menteri Pertahanan Irak Najah al-Shemmari untuk membahas situasi di kawasan.
Koalisi militer yang dipimpin Saudi menyebutkan senjata serangan merupakan buatan Iran. Hanya saja, sumber peluncuran serangan belum diketahui sehingga Saudi tidak menuding langsung Iran sebagai pelaku.
Pertahanan diri
Rouhani menyatakan, serangan terhadap kilang minyak merupakan tindakan pertahanan diri yang dilakukan oleh Houthi melawan Saudi. Militer Saudi terus melakukan serangan udara kepada Houthi sejak 2015.
”Yaman menjadi target harian untuk pengeboman (oleh Saudi). Warga Yaman terpaksa merespons, mereka hanya melindungi diri mereka sendiri,” kata Rouhani.
Situasi di Timur Tengah terus memanas setelah Teheran dan Washington berselisih karena Trump menarik diri dari JCPOA pada 2018. Trump kemudian menerapkan sanksi ekonomi untuk menekan program nuklir Iran. Iran menanggapinya dengan mengurangi komitmen untuk mematuhi JCPOA. (AFP)