Pemerintah dan DPR Sepakat Permudah Napi Korupsi Bebas Bersyarat
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Salah satu substansi revisi adalah mempermudah pembebasan bersyarat bagi narapidana perkara korupsi
Oleh
Insan Alfajri
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan untuk disahkan di rapat paripurna. Salah satu substansi dari revisi ini, antara lain tak lagi mencantumkan syarat rekomendasi lembaga penegak hukum untuk memberikan asimilasi atau bebas bersyarat terhadap terpidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk korupsi.
Revisi UU Pemasyarakatan disepakati pemerintah dan DPR dalam rapat kerja, Selasa (17/9/2019) malam, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Rapat dipimpin Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsuddin. Pemerintah diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Selanjutnya, RUU Pemasyarakatan tersebut dibawa ke rapat paripurna untuk dilakukan pengambilan keputusan tingkat II.
Keharusan meminta rekomendasi dari institusi penegak hukum itu tercantum di Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP itu menerapkan ketentuan yang memperberat syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk sejumlah tindak pidana kategori kejahatan luar biasa, seperti terorisme, narkotika, dan korupsi.
Pasal 43 B ayat (3) menyatakan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam mempertimbangkan remisi pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus korupsi wajib meminta rekomendasi Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketua Panitia Kerja RUU Pemasyarakatan Erma Suryani Ranik menyatakan, rekomendasi pembebasan bersyarat dari penegak hukum untuk kejahatan terpidana kasus kejahatan luar biasa tidak diperlukan lagi. Semua bergantung pada keputusan pengadilan.
"Kalau vonis hakim tidak menyatakan bahwa hak sebagai terpidana itu dicabut, dia berhak mengajukan itu (remisi dan pembebasan bersyarat). Tentu saja teman-teman di permasyarakatan tetap mempertimbangkan layak atau tidaknya terpidana itu mengajukan remisi dan pembebasan bersyarat," katanya.
Dari risalah rapat, hanya Fraksi Gerindra yang memberikan persetujuan dengan catatan. Gerindra menyatakan, remisi untuk terpidana kasus kejahatan luar biasa diberikan dengan asas kehati-hatian.
Ditanya terkait status PP Nomor12/2002 setelah RUU Pemasyarakatan disahkan, Yasona menyatakan, "Sekarang dalam UU ini segala aturan yang tidak ini kan masih harus disesuaikan nanti. Kita lihat saja. Ini disahkan dulu," katanya.
Dia menambahkan, semangat RUU ini berangkat dari paradigma pemasyarakatan yang juga sudah bergeser. "Ini semua konsep yang harus diwujudkan karena memang filosofinya dulu pembalasan, naik ke reintegrasi sosial dan sekarang bergerak lagi ke restorative justice," katanya.