Para kelompok masyarakat sipil juga mendesak agar pemerintah menyiapkan jalur evakuasi untuk masyarakat terutama kelompok rentan ke lokasi yang lebih aman.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Gabungan Kelompok Masyarakat Sipil mendesak pemerintah memberikan perlindungan hak korban kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Selain pemberian layanan kesehatan sebagai penanganan jangka pendek, pemerintah juga diminta belajar dari pengalaman kebakaran sebelumnya untuk melakukan langkah pencegahan ke depan.
Kebakaran hutan dan lahan yang berimbas pada kabut asap masih terjadi hingga Senin (16/9/2019). Berdasarkan pantauan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga pukul 09.00 WIB ada 2.853 titik panas (hotspot) terpantau dalam 24 jam terakhir. Kalimantan Tengah memiliki titik panas terbanyak dengan 548 titik serta kualitas udara dalam kategori berbahaya.
Gabungan kelompok masyarakat sipil mendesak pemerintah segera melakukan langkah tanggap darurat dampak kabut asap bahkan hingga ke wilayah pedalaman. Menurut mereka, saat ini banyak warga yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara cepat. Utamanya kelompok rentan seperti bayi, ibu hamil dan lanjut usia.
“Segera turunkan tenaga dan layanan medis bagi korban kabut asap hingga ke pelosok-pelosok,” kata Kepala Departemen dan Pengembangan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia Halisa Halid dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Selain Walhi Indonesia, desakan serupa juga digaungkan 11 lembaga lain yang mewakili masyarakat sipil. Mereka, antara lain, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Solidaritas Perempuan (SP), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Anggota Divisi Kedaulatan Perempuan Atas Tanah SP Nisa Anisa mengatakan, tidak sedikit perempuan dan anak-anak yang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) serta muntaber di kawasan Kalimantan Tengah akibat kabut asap. Bahkan, sementara ada 20 perempuan hamil di Desa Hanjak Maju Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau yang kesulitan layanan kesehatan.
“Mereka berada di desa terpencil dan tidak tahu harus pergi kemana. Akses ke Puskesmas jauh dan masker juga sulit mereka dapatkan. Hingga saat ini jumlahnya masih kami data,” katanya.
Para kelompok masyarakat sipil juga mendesak agar pemerintah menyiapkan jalur evakuasi untuk masyarakat terutama kelompok rentan ke lokasi yang lebih aman. Untuk wilayah yang masih belum terjadi kebakaran, mereka berharap agar pemerintah memiliki sistem respon cepat untuk mencegah kemungkinan terbakar.
Kejahatan ekosida
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Yanti Andriani mengatakan, kabut asap yang melanda sebagian besar wilayah Kalimantan dan Sumatera merupakan kejahatan ekosida atau perusakan ekosistem lingkungan dalam skala masif. Kerusakan lingkungan tidak hanya merampas habitat satwa tapi juga hak-hak manusia.
“Banyak hak-hak masyarakat yang dikorbankan. Hak untuk hidup, mendapatkan kesehatan, mendapatkan pemulihan hingga mendapatkan pendidikan. Hingga saat ini, masih banyak sekolah yang ditutup,” katanya.
Yanti menilai pemerintah tidak belajar dari peristiwa-peristiwa kebakaran hutan dan lahan, yang sudah terjadi sejak 1997. Yanti menuding kebakaran hutan dan lahan merupakan ulah korporasi.
Dalam hal ini, Yanti mendesak agar kementerian atau lembaga terkait membuka nama-nama korporasi yang terlibat dalam kebakaran tersebut dan sudah dimintai pertanggungjawaban. Menurutnya, menutup informasi tersebut kepada publik hanya akan menimbulkan preseden buruk bagi pemerintah.
“Lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) negara seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sudah selayaknya turun,” ujarnya.
Perbaikan jangka panjang
Guna menghindari bencana serupa terjadi pada tahun-tahun selanjutnya, kelompok masyarakat sipil juga mendesak pemerintah supaya memperkuat upaya pencegahan. Pemerintah didesak untuk melakukan peninjauan izin, audit lingkungan, bahkan pencabutan izin konsesi kepada pihak korporasi yang lahannya terbakar atau ditemukan titik api.
“Segera lakukan eksekusi putusan-putusan terkait kebakaran hutan dan lahan yang berkekuatan hukum tetap dari 2015-2018,” kata Ketua YLBHI Siti Rahma Mary.
Dia mengungkapkan, ketentuan tersebut sebenarnya sudah terdapat pada putusan Mahkamah Agung (MA) dengan nomor perkara 3555 K/PDT/2018 pada 16 Juli 2019 terkait gugatan warga terhadap kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah. Alih-alih menaatinya, pemerintah justru melakukan Peninjauan Kembali (PK) dalam putusan tersebut.
“Padahal, pemerintah seharusnya juga menyediakan pelayanan publik seperti pembangunan Rumah Sakit Paru-Paru,” ujar Rahma.