Pengesahan RKUHP Dipaksakan, Masyarakat Sipil Bakal Gugat ke Mahkamah Konstitusi
Aliansi Nasional Reformasi KUHP memperoleh informasi pemerintah dan DPR diam-diam membahas RKUHP, akhir pekan lalu. Rapat pun digelar tertutup. Hasil rapat, pembahasan RKUHP dinyatakan telah tuntas. DPR membenarkan ini.
Oleh
INSAN ALFAJRI dan KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi berunjuk rasa, di depan Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/9/2019). Mereka menolak rencana DPR dan pemerintah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebelum masa jabatan DPR berakhir, akhir September ini.
JAKARTA, KOMPAS - Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi berunjuk rasa menentang pasal-pasal bermasalah di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Jika pasal-pasal itu tak diubah atau dihapus saat RKUHP disahkan, aliansi bakal mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Unjuk rasa digelar di depan pintu masuk/keluar Kompleks Parlemen, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (16/9/2019). Mereka membawa serta sejumlah poster bertuliskan, "DPR Gak Usah Ngegas Dong!" dan "Dear Negara, Tolong ya. Berhentilah Bikin Warga Sakit Kepala".
Masyarakat sipil yang tergabung dalam aliansi diantaranya, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dan Serikat Pekerja Sindikasi.
Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Nining Elitos, dalam orasinya, mengingatkan, RKUHP jika sudah disahkan rentan memenjarakan rakyat. Padahal pemerintahan sipil semestinya harus lebih demokratis.
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Poster yang dibawa Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi saat berunjuk rasa, di depan pintu keluar/masuk Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/9/2019).
Dia pun mengkritik salah satu pasal bermasalah di RKUHP yaitu yang mengatur soal penghinaan terhadap presiden. "Jika memang akan menghidupkan lagi pasal penghinaan terhadap presiden, berarti ini pembungkaman terhadap suara rakyat yang kritis terhadap penguasa," katanya.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Pratiwi Febry menyatakan, sedikitnya ada 10 pasal bermasalah dalam RKUHP. Menurutnya, presiden masih memungkinkan untuk mengubah muatan pasal-pasal bermasalah ini.
Berdasarkan kajian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, pasal-pasal bermasalah itu diantaranya, Pasal 219 penyerangan kehormatan atau harkat martabat presiden dan wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang melawan penguasa; dan Pasal 262 tentang berita bohong. Selain itu, ada juga Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 353 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; dan Pasal 440 tentang pencemaran nama baik.
"Jika tetap disahkan tanpa mengubah substansi pasal bermasalah itu, tak ada jalan lain. Kami akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," kata Pratiwi.
Diam-diam
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengkritisi pembahasan RKUHP oleh pemerintah dan DPR yang diam-diam dan tertutup.
Dari informasi yang diperoleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP di mana ICJR ada di dalamnya, pemerintah bersama DPR diam-diam menggelar rapat membahas RKUHP di Hotel Fairmont Senayan Jakarta, pada 14-15 September 2019. Rapat digelar tertutup. Hasil dari rapat tersebut, pemerintah bersama DPR menyatakan pembahasan RKUHP telah tuntas.
Padahal agenda rapat itu tak ada dalam jadwal Komisi III DPR. Selain itu, rapat janggal karena biasanya rapat membahas rancangan undang-undang tidak digelar di akhir pekan. Aliansi pun kesulitan untuk bisa mengakses informasi atau dokumen dari hasil rapat tertutup tersebut.
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi berunjuk rasa, Senin (16/9/2019), di depan gerbang DPR, Senayan, Jakarta. Mereka menolak pengedahan RKUHP.
Sebagai catatan, rapat membahas RKUHP terakhir yang bisa diakses publik digelar pada 30 Mei 2018. Artinya hingga kini, sudah hampir 1,5 tahun, rapat-rapat RKUHP selalu digelar tertutup.
Padahal pasal-pasal RKUHP menyangkut publik. Ditambah lagi banyak pasal kontroversial. Maka seharusnya rapat-rapat pembahasan RKUHP tidak digelar tertutup. Apalagi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah mengamanahkan agar pembentukan peraturan perundang-undangan mengedepankan salah satunya, asas keterbukaan.
"Tindakan pemerintah dan DPR yang secara diam-diam dan tertutup melakukan pembahasan jelas mencederai kepercayaan dan amanat rakyat. RKUHP dibahas tanpa legitimasi dan transparansi yang kuat. Pengesahannya harus ditunda!" tegas Anggara.
Kesepakatan dicapai
Anggota Panitia Kerja RKUHP DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, tidak menampik rapat di akhir pekan tersebut. Dia juga membenarkan kalau rapat pemerintah bersama DPR itu, sudah menyepakati seluruh pasal yang ada di dalam RKUHP.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga menandatangani spanduk sebagai bentuk penolakan atas RKUHP di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (15/9/2019). Sekalipun banyak pasal bermasalah di RKUHP, RKUHP rencananya disahkan sebelum akhir September ini.
“Urusan politik hukum dan substansi dari RKUHP seluruhnya sudah selesai, yang belum adalah soal redaksional dan itu akan kami serahkan pada ahli bahasa,” kata Arsul.
Selain soal redaksional, penjelasan dari sejumlah pasal tengah disempurnakan. Penjelasan itu penting agar pasal tidak menjadi pasal karet.
Rencananya, hasil rapat akhir pekan itu akan segera dibawa ke rapat pleno Komisi III DPR. Selanjutnya jika Komisi III telah menyetujuinya, RKUHP bakal dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk dimintakan persetujuan disahkan menjadi undang-undang. Targetnya, RKUHP sudah dibawa ke Rapat Paripurna DPR sebelum masa jabatan DPR 2014-2019 berakhir, akhir September ini.