Revolusi Industri 4.0 Buka Peluang Indonesia Masuk Rantai Jasa Global
Indonesia dapat memanfaatkan revolusi industri 4.0 untuk terlibat dalam rantai jasa global. Era digital membuka peluang bagi Indonesia untuk mengekspor jasa-jasa unggulan berbasis profesionalisme.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global DIalogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019). Sophia diperkenalkan sebagai wujud masa depan teknologi AI, yaitu saat manusia dan robot dapat kerja sama di berbagai bidang.
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia dapat memanfaatkan revolusi industri 4.0 untuk terlibat dalam rantai jasa global. Era digital membuka peluang bagi Indonesia untuk mengekspor jasa-jasa unggulan berbasis profesionalisme.
Menurut perkiraan Profesor Graduate Institute of International and Development Studies in Geneva, Richard Baldwin, pengembangan perekonomian berbasis jasa akan menggantikan pengembangan berbasis manufaktur. Pada tahun 2020-an, jasa akan mulai menjadi lokomotif perekonomian.
"Akan ada peralihan pola keterlibatan, dari goods value chains (rantai nilai barang) menjadi service value chains (rantai nilai jasa)," katanya dalam acara berjudul "2019 CSIS Global Dialogue" yang digelar Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Pacific Economic Cooperation Council (PECC) di Jakarta, Senin (16/9/2019).
KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J
Profesor Graduate Institute of International and Development Studies in Geneva Richard Baldwin (paling kiri), Deputy Chief Executive (Industry); Chief Human Resource Officer & Chief Data Officer SkillsFuture Singapore Michael Fung (dua dari kanan), dan CEO sekaligus CTO GDP Labs On Lee (paling kanan) dalam acara berjudul "2019 CSIS Global Dialogue" yang digelar Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Pacific Economic Cooperation Council (PECC) di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Rantai nilai jasa lebih unggul dibandingkan barang karena arus dan alirannya tidak bergantung pada aspek geografisnya. Imbasnya, aspek logistik antarnegara menjadi lebih sederhana dibandingkan rantai nilai barang.
Menteri Perdagangan 2004-2011 Mari Elka Pangestu berpendapat, Indonesia dapat terlibat dalam rantai nilai jasa dunia dengan memanfaatkan posisi saat ini pada rantai nilai barang global. "Misalnya di bidang otomotif. Kalau berbicara rantai nilai barang, kita akan melihat potensi produksi komponen di Indonesia. Namun, dalam rantai nilai jasa, Indonesia dapat terlibat sebagai desainer mesin atau bagian dari komponennya," tuturnya.
Kalau berbicara rantai nilai barang, kita akan melihat potensi produksi komponen di Indonesia. Namun, dalam rantai nilai jasa, Indonesia dapat terlibat sebagai desainer mesin atau bagian dari komponennya
Selain desain otomotif, menurut Mari, animator Indonesia juga dapat terlibat dalam rantai nilai jasa. Secara umum, jasa-jasa yang melibatkan kemampuan memanfaatkan teknologi dan mengkreasikannya memiliki peluang dan potensi keterlibatan.
KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J
Menteri Perdagangan 2004-2011 Mari Elka Pangestu
Bank Indonesia (BI) mencatat, sepanjang semester-I 2019, neraca jasa nasional mengalami defisit sebesar 3,83 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Defisit tersebut terbentuk dari ekspor jasa yang senilai 13,49 miliar dollar AS dan impor senilai 17,32 miliar dollar AS.
Dari sisi neraca perdagangan, BI melaporkan, Indonesia mengalami surplus sebesar 1,3 miliar dollar AS sepanjang semester-I 2019. Angka tersebut berasal dari eskpor yang senilai 81,2 dan impor senilai 79,9 miliar dollar AS.
Pendidikan relevan
Menurut Richard, sumber daya manusia (SDM) yang profesional menjadi kunci keterlibatan dalam rantai nilai jasa di tingkat global. Negara mesti fokus dalam mengembangkan SDM, salah satunya melalui pelatihan dan pendidikan.
Era digital dalam revolusi industri 4.0 melahirkan paradigma baru dalam pendidikan dan pelatihan SDM. "Kini, pendidikan dan pelatihan mesti berorientasi pada pelajaran-pelajaran yang dibutuhkan agar SDM memiliki kualitas dan kapasitas yang relevan di setiap era," kata Deputy Chief Executive (Industry); Chief Human Resource Officer & Chief Data Officer SkillsFuture Singapore Michael Fung.
Kompas/Hendra A Setyawan
Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat bersiap melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global DIalogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019). Sophia diperkenalkan sebagai wujud masa depan teknologi AI, yaitu saat manusia dan robot dapat kerja sama di berbagai bidang.
Pada prinsipnya, orientasi pelatihan dan pengembangan SDM tersebut terdiri dari beragam cara belajar dan pelajaran (multiple pathways), proses belajar dan bekerja terintegrasi, pemberdayaan kemampuan SDM, kemampuan-kemampuan yang tengah berkembang dan menjadi prioritas, serta berdasar pada pelajaran seumur hidup (long-life learning).
Dalam praktiknya, keberjalanan sistem pendidikan dan pelatihan tersebut bergantung dari kolaborasi antarpihak seperti, pemerintah, perguruan tinggi, asosiasi perdagangan, mitra dunia usaha dan industri, serta penyedia jasa pelatihan.
Misalnya kurikulum yang dibentuk SkillsFuture di Singapura. Pelajaran-pelajaran yang ditawarkan salah satunya bertujuan, membentuk kepekaan (
sense making), berpikir komputasi, berpikir kreatif, penyelesaian masalah, dan berpikir lintas disiplin ilmu.
Selain itu, CEO sekaligus CTO GDP Labs On Lee menggarisbawahi, redefinisi literasi menjadi krusial dalam pendidikan dan pelatihan SDM di era digital. "Literasi tak lagi berarti kemampuan membaca dan menulis. Saat ini, literasi mesti menyangkut kemampuan membaca, menulis, dan berpikir komputasi. Berpikir komputasi berarti kemampuan dalam memecahkan masalah," tuturnya.