Ascona boleh jadi kalah populer dibandingkan kota-kota lain di Swiss seperti Zurich, Lucerne, dan Bern. Walakin, Ascona sebenarnya punya keunikan yang mengundang decak kagum.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
ยท2 menit baca
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Beberapa wisatawan berjalan-jalan di gang yang diapit pertokoan di Ascona, Swiss, Kamis (15/8/2019).
Ascona, kota kecil di Swiss, boleh jadi kalah populer dibandingkan dengan tujuan-tujuan utama di negara dengan pegunungannya yang indah itu. Zurich, Lucerne, dan Bern lebih ramai didatangi wisatawan. Walakin, Ascona punya keunikan yang mengundang decak kagum.
Danau Maggiore menjadi tujuan utama di Ascona. Berlatar perbukitan, danau itu semakin indah. Di tepi Danau Maggiore, Kamis (15/8/2019), deretan bangunan dan jalan khas Eropa menjadi penaung rombongan sineas yang mengikuti Locarno Film Festival.
Cuaca di Ascona tak menentu. Matahari umumnya bersinar cerah, tetapi hujan bisa saja turun seharian. Sineas Yosep Anggi Noen (36) memimpin rombongan yang terdiri atas lima orang berjalan-jalan di tepi Danau Maggiore. Hujan turun dan reda silih berganti.
Sutradara film The Science of Fictions, Vakansi Janggal dan Penyakit Lainnya, serta Istirahatlah Kata-Kata itu membentangkan payungnya. Awalnya, ia berjalan-jalan saja menyusuri pertokoan. Tertumbuk pada persimpangan, Anggi dan rekan-rekannya berbelok ke jalan setapak.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Beberapa wisatawan duduk di kafe sambil menikmati suasana lorong di Ascona, Swiss, Kamis (15/8/2019).
Tak dinyana, gang-gang itu juga punya daya tarik. Kaki-kaki menjejaki jalur yang terbentuk dari paving block. Bukan coran beton rata dan monoton yang membosankan. Lalu, bangunan persegi panjang yang mengapit gang begitu meriah dengan warna-warni molek.
Hijau, merah, kelabu, coklat, dan kuning pastel melabur gedung-gedung bergaya klasik. Indah bagai latar dalam film-film Eropa romantis. Berkeliling gang itu tanpa pemandu bagai kapal tak berpedoman. Terombang-ambing mengikuti langkah mengayun saja.
Arya Sweta (37), produser The Science of Fictions, terpisah dari rombongan karena berbelok ke arah berbeda. Ia sedikit tertinggal dari rombongan sebelum bergabung kembali. Rombongan sempat berputar-putar. Kendati demikian, tersesat di pusaran gang bak labirin tersebut tak urung mengasyikkan juga.
Tak hanya rumah, gang itu juga dijejali kafe, salon, dan galeri. Meski lebar jalan itu hanya 3 meter, produk-produk yang dipajang di sejumlah toko tergolong mentereng. Perhiasan, jam, tas, arloji, dan pakaian menyemarakkan etalase.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Beberapa wisatawan berjalan-jalan di tepi Danau Maggiore, Ascona, Swiss, Kamis (15/8/2019),
Produk-produk itu dijajakan di gang, tetapi harganya tetap membuat terbelalak. Secarik label yang melekat pada kemasan arloji, misalnya, menunjukkan angka 4.900 franc Swiss atau sekitar Rp 71 juta. Anggi spontan membandingkan harga arloji yang setara dengan kamera berteknologi mutakhir.
Rombongan melepas lelah sejenak dengan menyesap nikmatnya kopi sambil mencicipi kue kering di kafe kecil. Anggi dan rekan-rekannya kembali hilir mudik. Tak disangka pula di tengah liku-liku lorong tersebut berdiri gereja berarsitektur kuno.
Sayang sekali, di dalam gereja itu tak tampak seorang pun untuk ditanya. Pada dinding gereja tercantum tulisan โChiesa Parrocchiale Dei SS Pietro E Paoloโ. Jalan raya ternyata sudah terlihat ketika rombongan keluar dari gereja tersebut. Tersesat yang juga terasa menggembirakan itu pun berakhir.