Selain menaikkan usia minimal perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun, DPR juga memperketat aturan dispensasi perkawinan usia anak. Dispensasi hanya bisa melalui pengadilan, dan harus dihadiri calon pengantin.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
DPR memperketat aturan dispensasi perkawinan usia anak. Permohonan dispensasi hanya bisa diajukan ke pengadilan, kedua calon pengantin juga harus hadir di pengadilan.
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disepakati dalam Rapat Tim Panitia Kerja DPR dan pemerintah pada Kamis (12/9/2019) merupakan lompatan besar yang akan membangun peradaban baru. Sebab, selain sepakat menaikkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun, revisi UU Perkawinan juga memperketat soal pemberian dispensasi yang selama ini menjadi pintu masuk perkawinan anak.
Dalam RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Panja DPR, selain mengubah khusus Pasal 7 ayat (1) juga mengubah Pasal 7 ayat (2) dan (3), serta menambah satu ayat dalam Pasal 7, yaitu ayat (4), untuk menguatkan syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 1/1974.
Perubahannya sangat signifikan. Misalnya soal permohonan dispensasi yang sebelumnya kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orangtua calon pengantin, dalam RUU tersebut diubah permohonannya hanya kepada pengadilan. Permohonan tersebut juga harus dengan alasan mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Permohonan dispensasi yang sebelumnya kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orangtua calon pengantin, dalam RUU tersebut diubah permohonannya hanya kepada pengadilan.
Langkah maju lainnya, DPR dan pemerintah sepakat menambah dalam ayat (3) yang mensyaratkan pengadilan wajib mendengar pendapat kedua calon pengantin. Selama ini syarat tersebut tidak diatur.
Sudiro, Ketua Panitia Kerja DPR untuk Pembahasan RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menegaskan, sebenarnya soal dispensasi sudah diatur dalam Pasal 6. Meskipun begitu, soal dispensasi ini diperketat karena masih banyak perkawinan ilegal, di bawah tangan, itsbat, dan kawin siri.
“Ada juga kawin paksa karena alasan ekonomi, banyak utang-piutang supaya lunas minta dispensasi, padahal baru usia 15 tahun. Makanya diatur supaya supaya si calon mempelai dihadirkan,” ujar Sudiro, dalam keterangan pers di Media Center DPR, kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Selain Sudiro, hadir berbicara Andi Yuliani Paris (anggota Panja DPR, dari Fraksi Amanat Nasional), Dian Kartikasari (Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia), dan Genoveva AKS Maya (Koalisi+18 dan peneliti Institute for Criminal Justice Reform).
Menurut Sudiro dari hasil kerja Panja dalam Rapat Badan Legislasi DPR, Kamis lalu, disepakati draft RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khusus Pasal 7 ayat (1) sampai ayat (4). Ayat (1) menaikkan batas usia minimal perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, adapun ayat (2) sampai (4) mengatur soal pengetatan dispensasi.
Setelah menyetujui draft RUU tersebut, selanjutnya menurut Sudiro tinggal menunggu jadwal rapat paripurna untuk mengesahkan RUU Perubahan UU Perkawinan. “Jadwalnya tanggal 17-24 September, itu akan disahkan. Tidak ada lagi perubahan,” kata Sudiro.
Hilangkan diskriminasi.
Menurut Andi Yuliani, idealnya tidak perlu ada dispensasi, tetapi melihat fakta di lapangan kasus-kasus perkawinan anak terus terjadi karena rata-rata baru tamat SMA sudah menikah karena pengajuan dispensasi.
“Batas usia minimal perkawinan untuk perempuan sangat penting untuk menghilangkan diskriminasi, juga untuk memberikan akses kepada perempuan terhadap pendidikan, akses pekerjaan, termasuk kesehatan reproduksi. Begitu juga angka perceraian tinggi, karena ketika mereka menikah belum mapan secara ekonomi dan mental,” katanya.
Karena itu, kata Andi, jika nanti disahkan UU Perkawinan yang telah direvisi perlu disosialisasikan secara masif oleh semua pemangku kebijakan sehingga upaya pencegahan perkawinan anak akan efektif.
Dian memberikan apresiasi terhadap pemerintah dan DPR atas pencapaian dalam perubahan UU Perkawinan. Tidak hanya menaikkan usia minimal perkawinan bagi perempuan tapi juga memperketat dispensasi.
“DPR menunjukkan dispensasi itu perlu untuk diperbaiki, sehingga DPR memunculkan pentingnya aturan dispensasi sehingga tidak menjadi pasal karet. Dan ada satu tambahan lain yakni soal permohonan dispensasi hanya kepada pengadilan, pejabat lain dihapus,” kata Dian.
Adapun Genoveva menegaskan dari penelitian yang dilakukan Koalisi 18+ bersama KPI menemukan ternyata kebanyakan yang mengajukan dispensasi adalah orangtua dari anak perempuan, selain kekerasan seksual dan perkosaan, juga hamil sehingga orangtua mengajukan dispensasi karena merasa malu. Namun ada juga karena keadaan orangtua terlilit hutang, sehingga melepaskan anak perempuan untuk membayar utang.