Meski sosoknya dinilai kontroversial karena dinyatakan KPK melanggar kode etik, Inspektur Jenderal Firli Bahuri ditetapkan Komisi III DPR sebagai Ketua KPK periode 2019-2023.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Setelah menggelar rangkaian uji kelayakan dan kepatutan selama dua hari, Komisi III DPR menetapkan Inspektur Jenderal Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023. Musyawarah Komisi III menetapkannya sebagai ketua tanpa ada pemungutan suara kembali terhadap lima peraih suara terbanyak.
Pemungutan suara terhadap 10 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berlangsung selama satu jam. Mulai dari pukul 00.00-01.00, Jumat (13/9/2019).
"Saudara Firli Bahuri kami tetapkan sebagai Ketua KPK periode 2019-2023, dengan empat komisioner, yaitu Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintauli Siregar," kata Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsuddin.
Firli dipilih sebagai ketua dari hasil musyawarah Komisi III pasca-pemungutan suara. Selain itu, ia pun memperoleh suara terbanyak, yaitu 56 suara dari total 280 suara. Sebanyak 56 anggota Komisi III berhak memilih maksimal lima kandidat.
Perolehan itu disusul oleh Alexander Marwata (53 suara), Nurul Ghufron (51 suara), Nawawi Pomolango (50 suara), dan Lili Pintauli Siregar (44 suara).
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik mengatakan, komposisi pimpinan tersebut merupakan yang terbaik. "Kami percaya, lima orang ini akan serius memperkuat KPK," ucapnya.
Kontroversial
Keterpilihan Firli sebagai Ketua KPK cukup kontroversial. Pasalnya, sepanjang seleksi capim berlangsung, penolakan atas dirinya muncul dari berbagai kalangan. Mulai dari masyarakat sipil, hingga kalangan internal KPK.
Firli diduga pernah melanggar etik karena bertemu dengan pihak yang berperkara dengan KPK. Ia juga pernah bertemu dengan salah satu ketua umum partai politik. Selain itu, Firli juga diduga menerima pembayaran hotel dan 600 lembar tiket konser boyband Eropa terkait dengan posisinya sebagai Deputi Penindakan KPK.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi PDI-P Herman Hery mengatakan, simpati dan penilaian baik justru muncul karena ia tampil baik meski dalam tekanan. Dalam uji kelayakan dan kepatutan, ia menampik seluruh tudingan dengan bukti tertulis yang dinilai dapat dipertanggungjawabkan.
"Kami menampung dan mempertimbangkan semua masukan. Namun, kami punya kebebasan untuk memilih," kata Herman.
Ia melanjutkan, protes dan masukan merupakan hal wajar dalam negara demokrasi. Namun, DPR juga ingin menunjukkan bahwa mereka tak bisa digiring atau ditekan.
Bantahan Firli
Sebelumnya, dalam uji kelayakan dan kepatutan, Firli menampik bahwa dirinya telah melanggar etik. Tuduhan itu telah diklarifikasi dalam rapat bersama lima pimpinan KPK pada 19 Maret 2019. Ia pun mencatat seluruh pernyataan pimpinan KPK saat itu dan menunjukkannya di hadapan Komisi III DPR.
“Saat rapat, saya sendiri menghadapi lima pimpinan. Tidak ada satu pun pimpinan yang mengatakan bahwa saya melanggar etik. Akan tetapi saya diperingatkan, itu ya,” tegas Firli.
Firli diperingatkan untuk mengubah gaya hidupnya. Sebab, sejumlah pertemuan itu bisa ditafsirkan memiliki tujuan tertentu.
Ia mengakui, memang pernah bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang pada 13 Mei 2018. Pertemuan terjadi secara tidak sengaja di sebuah lapangan tennis. Ia, Tuan Guru Bajang, dan sejumlah orang yang ada di lapangan itu kemudian berfoto bersama dan foto diunggah ke media sosial.
Selain itu, Firli juga membenarkan bahwa pernah bertemu salah satu ketua umum partai politik. Pertemuan terjadi saat ia menemui rekan sesama anggota kepolisian.
Akan tetapi, pertemuan itu tidak memiliki intensi apa-apa. “Saya memang kenal beliau karena saya intens berkomunikasi dengan almarhum suami beliau,” kata Firli.