Ratusan Hektar Sawah di Sulawesi Tenggara Terancam Puso
Ancaman puso akibat kekeringan melanda salah satu lumbung pangan Sulawesi Tenggara di Kabupaten Konawe Selatan. Kemarau panjang juga memukul puluhan hektar sawah di Kabupaten Jembrana, Bali.
Oleh
·3 menit baca
Suwito (65) berdiri di sawahnya yang mengering dan terancam gagal panen, Rabu (11/9/2019), di Ranomeeto, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ratusan hektar sawah di wilayah ini terancam gagal panen karena kemarau datang lebih cepat, sementara pengairan tidak maksimal. Sawah tidak lagi hijau, tetapi memutih karena kering kerontang.KONAWE SELATAN, KOMPAS Memasuki puncak musim kemarau, ratusan hektar sawah di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, terancam gagal panen akibat kekeringan. Petani berharap pemerintah memprioritaskan pembangunan bendungan dan saluran irigasi untuk mengatasi kekeringan pada masa mendatang.
Ratusan petak sawah di Kelurahan Ranomeeto, Ranomeeto, Konawe Selatan, tampak kering dengan tanah yang mulai pecah-pecah. Sebagian tanaman padi pun tak terawat. Suwito (65), salah seorang petani, mengatakan, 3 hektar lahan padi miliknya telah mengering selama seminggu terakhir. Padahal, ia baru menyemai benih akhir bulan lalu, kala hujan baru turun sesekali.
”Tetapi, ini langsung tidak ada (hujan). Air di kali juga sudah sedikit sekali. Padahal, tahun lalu kalau bulan begini masih bisa menanam dan hasilnya bagus. Sekarang, sawah putih semua,” ucap Suwito, Rabu (11/9/2019). Sawah memang sebagian terlihat putih akibat kekeringan hebat. Sawah tidak lagi hijau seperti saat ditanami.
Menurut Suwito, dirinya selama ini memang mengandalkan hujan untuk mengairi sawah. Sebab, irigasi belum terbangun di tempatnya. Aliran kali di dekat lokasi sawahnya juga tersisa sedikit. Ia tidak mengairi sawah dengan pompa air karena butuh biaya besar, sekitar Rp 250.000 untuk sekali memompa.
Mesirante (50), petani lain, menuturkan, bertani saat ini jauh lebih susah dibandingkan dahulu. Hal ini karena musim yang berubah dan tidak tahu kapan datangnya hujan. Saat masa tanam pertama awal tahun ini, hujan melimpah, bahkan menggenangi sawah hingga masa panen tiba. Namun, saat ini, kemarau lebih cepat datang dibandingkan biasanya.
”Untuk (musim) tanam kedua susahnya minta ampun. Kalau tidak hujan sampai minggu depan, sudah tidak ada harapan (bisa panen),” katanya.
Musim kering yang datang lebih cepat tahun ini tidak diantisipasi dengan baik oleh petani. Mereka terbiasa menanam pada awal September. Di Kelurahan Ranomeeto, sekitar 150 hektar sawah yang telah ditanami terancam gagal panen atau puso karena kekeringan.
Total lahan sawah yang terolah di Konawe Selatan mencapai 20.929 hektar. Produksi padi tahun lalu mencapai 122.989 ton, terbesar kedua di wilayah Sultra setelah Kabupaten Konawe yang mencapai lebih dari 200.000 ton.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Konawe Selatan Budi Santono mengatakan, pihaknya terus mengecek, mendata, dan mengamati perkembangan di lapangan. ”Kami masih mendata. Memang ada laporan dari petani di sejumlah daerah terkait kekeringan ini,” katanya.
Sebelumnya, petani yang sawahnya mengandalkan tadah hujan sudah diimbau untuk tidak menanam dua kali karena cuaca saat ini sulit diprediksi. Untuk sawah yang terancam puso, Budi mengatakan, pihaknya terus berupaya menyelamatkannya melalui pembuatan sumur.
Kekeringan di Bali
Kekeringan juga melanda sebagian lahan pertanian di Bali. Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Bali mencatat, luas sawah yang dilanda kekeringan pada periode April-September 2019 mencapai 277,3 hektar, sebanyak 78 hektar di antaranya terancam puso.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Bali IB Wisnuardhana mengatakan, luasan sawah yang terancam puso bisa bertambah jika kemarau panjang belum berakhir pada bulan Oktober.
Kepala Stasiun Klimatologi Jembrana Rakhmat Prasetia mengatakan, kemarau panjang kali ini kondisinya mirip dengan tahun lalu. Tiga wilayah dilanda kekeringan parah, yakni Sambirenteng, Pucaksari, dan Sumber Klampok. (JAL/AYS)