Nominal Kompensasi Tahap Awal Korban Kebocoran Minyak Pertamina Belum Sesuai Harapan
Nelayan dan warga terdampak minyak di pesisir utara Karawang, Jawa Barat, mengeluhkan besaran dana kompensasi yang tidak sesuai harapan. Jumlahnya dianggap tak cukup sebagai bekal hidup warga selanjutnya.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
KARAWANG,KOMPAS— Nelayan dan warga terdampak minyak di pesisir utara Karawang, Jawa Barat, mengeluhkan besaran dana kompensasi yang tidak sesuai harapan. Jumlahnya dianggap tak cukup sebagai bekal hidup warga selanjutnya.
Sebelumnya, musibah tumpahan minyak akibat kebocoran pada anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java di Kabupaten Karawang, Jawa Barat terjadi sejak Juli lalu. Hal itu menyebabkan terpuruknya perekonomian pesisir utara Karawang. Padahal, mayoritas warga menggantungkan hidupnya pada hasil laut perairan tersebut.
Nominal kompensasi awal Pertamina kepada warga terdampak sebesar Rp 900 ribu per warga per bulan dan diberikan Juli-Agustus 2019. Pembayarannya menggunakan buku rekening tabungan Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Warga diwajibkan membuat surat pernyataan yang akan disampaikan pada saat proses aktivasi rekening oleh pihak bank. Warga terdampak antusias mendapatkan dana itu.
Antusiasme warga mendapatkan kompensasi tampak di Kantor Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Karawang, Kamis (12/9/2019). Sejak pagi, mereka sudah memenuhi kantor desa. Bahkan setelah jam istirahat, sekitar pukul 13.00, kantor desa kian ramai. Setiap nama yang disebutkan petugas, mereka perhatikan, seolah tak ingin ketinggalan apabila nama mereka dipanggil.
Di Sedari ada 1.040 warga terdampak yang telah diverifikasi. Pada kesempatan yang sama, pencairan dana juga dilakukan di Desa Tambaksari, Kecamatan Tirtajaya, sebanyak 765 warga. Sementara untuk 18 desa lainnya masih menunggu giliran. Pada tahap awal ini, Pertamina mengeluarkan total dana sebesar Rp 18,54 miliar untuk 10.271 warga terdampak.
Akan tetapi, Taim (42), nelayan di Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya Karawang, mengatakan, dana kompensasi tersebut hanya cukup untuk memperbaiki perahu dan jaringnya yang rusak. “Seandainya ada sisa, untuk makan sehari-hari. Namun saya tidak yakin sisa, mungkin malah kurang. Harga jaring sampai jutaan,” ujarnya.
Dakwan (29), nelayan lainnya, akan menggunakan dana kompensasi itu untuk menutup hutang selama ia tidak melaut. Namun, nilainya tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung. Bahkan, dia sampai berhutang kepada saudaranya sebesar Rp 350 ribu setiap awal minggu. Uang tersebut baru dikembalikan apabila Dakwan sudah mendapat bayaran dari hasil tenaga lepas pengambil ceceran minyak yang tumpah itu.
Sebelumnya, dalam sehari, ia bisa mendapat Rp 250.000- Rp 350.000 dari hasil tangkapannya. Bahkan Ranita (29), istrinya, mampu meraup Rp 500.000 per hari dari hasil berjualan warung kopi di pinggir wisata mangrove.
“Sejak musibah ini, kami harus gali-tutup lubang demi mencukupi kebutuhan sehari-hari,” ujar Ranita.
Hal senasib juga dialami Suparman (37), sejak Juli lalu, ia sudah berhutang kepada juragannya, bos pengepul, sebesar Rp 1 juta. Uang tersebut untuk menghidupi ketiga anaknya, Ina F (15), Farhan (8), dan Fauzan (2).
Dalam seminggu, ia melaut setidaknya enam hari dan mendapat sekitar Rp 300.000 - Rp 500.000 per hari. Jika dihitung selama tujuh minggu tidak melaut, kerugiannya hingga Rp 12,6 juta.
“Semoga tahap selanjutnya bisa cair sesuai dengan harapan kami,” ucapnya. Beberapa warga mengatakan, nilai ganti rugi ideal mencapai Rp 7 juta per orang.
Sebelumnya, Dartin (35), nelayan Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Karawang, mengeluhkan dana kompensasi yang belum cair. Ia sudah lebih dari tujuh minggu tidak berlayar mencari ikan. Biasanya, dalam sehari, ia mampu memperoleh Rp 300.000-Rp 500.000 dari melaut. Akibatnya, dia terpaksa berutang kepada juragannya atau bos pengepul, sebesar Rp 700.000 akhir Juli lalu.
Sebenarnya uang segitu tidak cukup untuk menghidupi tiga anak saya. Namun bagaimana lagi, kalau nekat melaut, nanti jaring rusak. Tangkapan pun sedikit
Saat ini, ia menjadi tenaga lepas untuk mengambil ceceran limbah dengan upah Rp 100.000 per hari. “Sebenarnya uang segitu tidak cukup untuk menghidupi tiga anak saya. Namun bagaimana lagi, kalau nekat melaut, nanti jaring rusak. Tangkapan pun sedikit,” kata dia.
Widianto (38), petambak udang di Desa Pusakajaya Utara, Kecamatan Cilebar, Karawang, berharap agar kompensasi sesuai dengan yang dialaminya. Dia merugi hingga Rp 600 juta untuk delapan kolam dengan luas masing-masing setengah hektar. Selain ganti rugi yang sesuai, Widianto juga mencemaskan kondisi air laut pascainsiden ini. Sebab, menurut dia jika air laut tidak kunjung normal, ia khawatir tidak bisa mengoperasikan tambaknya.
Dihubungi terpisah, Vice President Relations PT Pertamina Hulu Energi Ifki Sukarya menyampaikan, nominal kompensasi saat ini bukan jumlah final yang akan diberikan, melainkan sementara. Sebab penghitungan kompensasi masih akan berjalan sementara proses penutupan sumur bor belum selesai.
“Pencairan dana kompensasi tahap selanjutnya belum bisa ditentukan atau targetkan pada bulan apa, karena tergantung pada proses klaim dan nilai kerugian. Kami melihat lamanya waktu proses dan kondisi lapangan,” ucap Ifki.