Industri Asuransi Jiwa Dorong Keterlibatan dalam Pembiayaan Infrastruktur
Industri asuransi jiwa dinilai bisa mengambil peran lebih dalam investasi pembiayaan infrastruktur. Meski begitu, industri asuransi meminta insentif pajak dari pemerintah.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri asuransi jiwa dinilai bisa mengambil peran lebih dalam investasi pembiayaan infrastruktur. Dana asuransi yang bersifat jangka panjang bisa membuat bunga lebih rendah dibandingkan dengan pembiayaan melalui perbankan. Meski begitu, industri asuransi meminta insentif pajak dari pemerintah.
Pembiayaan infrastruktur pemerintah selama ini bertumpu dari pendanaan perbankan, khususnya bank-bank badan usaha milik negara (BUMN). Perbankan memberikan dana pembangunan melalui penyaluran kredit.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon menilai, dana dari kredit perbankan itu bunganya cenderung tinggi. Sebab, sumber dana berasal dari dana pihak ketiga berupa giro, tabungan, dan deposito yang sifatnya jangka pendek.
”Karena sifatnya jangka pendek ada risiko di sana, terutama dari sisi likuiditas. Karena itu, bunganya agak tinggi. Biasanya bunga pinjaman itu berada di angka belasan persen,” kata Budi, Kamis (12/9/2019), kepada Kompas.
Menurut Budi, industri asuransi seharusnya bisa mengambil peran pembiayaan infrastruktur. Keterlibatan asuransi membuat bunga akan lebih rendah dan bersifat jangka panjang.
”Dana dari polis asuransi, kan, sifatnya jangka panjang. Kemungkinan tidak akan diambil sampai akhir polis. Jika bunga berada di 9 persen, hal itu sudah cukup menarik untuk perusahaan asuransi jiwa,” tambahnya.
Meski begitu, AAJI melihat industri asuransi membutuhkan lebih banyak produk investasi yang lebih panjang jangka waktunya. Saat ini lebih banyak pilihan investasi dalam jangka menengah 7-15 tahun.
AAJI bersama pelaku industri asuransi sedang gencar mengkaji wacana pembiayaan infrastruktur tersebut bersama pemerintah. Hal itu mengingat total aset industri asuransi saat ini lebih dari Rp 500 triliun. Dalam pembahasan itu, salah satu permintaan industri, yakni insentif pajak.
Pelaku industri asuransi sedang gencar mengkaji wacana pembiayaan infrastruktur tersebut bersama pemerintah. Salah satu permintaan industri, yakni insentif pajak.
Insentif pajak, kata Budi, bisa ditempatkan pada obligasi. Insentif itu akan membuat lebih banyak perusahaan tertarik membeli kupon obligasi. Adapun saat ini aset total industri asuransi lebih dari Rp 500 triliun.
Kepala Bidang Operasional dan Perlindungan Konsumen AAJI Freddy Thamrin mengemukakan, keterlibatan perusahaan asuransi akan jauh lebih menguntungkan. Biaya operasional perusahaan asuransi lebih murah.
”Tidak seperti perbankan yang memerlukan kantor cabang dan mesin anjungan tunai mandiri di banyak tempat," ujarnya.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai, wacana pembiayaan infrastruktur oleh industri asuransi sudah tepat. Hal itu untuk membantu industri perbankan yang saat ini mendominasi 80-90 persen pembiayaan infrastruktur. Adapun dana asuransi bersifat jangka panjang dan akan lebih murah daripada dana perbankan.
”Namun, perlu dibuat instrumen yang menarik bagi asuransi, seperti sukuk. (Juga) obligasi dan reksa dana berpenghasilan tetap. Tenor minimal tiga tahun dan imbal hasil di atas bunga deposito,” kata mantan komisaris AJB Bumiputera 1912 tersebut.
Pemerintah akan lebih gencar membangun infrastruktur pada tahun depan. Hal itu tecermin pada anggaran infrastruktur yang mencapai Rp 419 triliun pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. Anggaran itu naik 4,9 persen dari tahun sebelumnya.