Perizinan masih jadi masalah yang membebani pelaku usaha. Reformasi perizinan melalui OSS yang dimulai tahun lalu dinilai belum berjalan dengan baik di daerah.
Oleh
M CLARA WRESTI / NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perizinan masih menjadi masalah yang membebani pelaku usaha. Reformasi perizinan melalui online single submission yang dimulai tahun lalu dinilai belum berjalan dengan baik di daerah.
Pada Juli 2018, pemerintah meluncurkan sistem pelayanan perizinan terintegrasi berbasis elektronik atau online single submission (OSS) untuk mempermudah perizinan dan mendorong kepastian memulai usaha. Namun, tujuan itu dinilai belum berhasil.
Hasil studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menemukan tiga aspek yang masih menjadi masalah, yakni regulasi, sistem, dan tata laksana. Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng, di Jakarta, Rabu (11/9/2019), menyatakan, tiga aspek itu menjadi tantangan umum pelaksanaan OSS di daerah.
Studi KPPOD digelar di enam provinsi, yakni DKI Jakarta, Sumatera Utara (Deli Serdang dan Toba Samosir), Kalimantan Barat (Pontianak dan Kubu Raya), Jawa Timur (Surabaya dan Sidoarjo), Nusa Tenggara Barat (Lombok dan Kota Mataram), dan Sulawesi Selatan (Makassar dan Maros).
Menurut Robert, ketiga aspek di atas menjadi tantangan umum OSS di sejumlah daerah. ”Pada aspek regulasi, Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) sektoral yang idealnya jadi petunjuk teknis pelayanan izin tidak kongkret menerjemahkannya dalam prosedur yang mudah diikuti,” ujarnya.
Akibat tidak kongkret penerjemahannya, standar operasi prosedur menjadi beragam variasi di daerah. Menurut Dewan Pengurus KPPOD, Anton J Supit, sampai saat ini Indonesia belum mempunyai sistem yang bisa menjadi faktor penentu keberhasilan kepala daerah.
Banyak kepala daerah tidak memikirkan kemudahan usaha di daerahnya. Padahal, kemudahan itu akan mengundang investor, membuka lapangan kerja, dan membayar pajak untuk pemerintah.
Peneliti KPPOD Boedi Rheza mengatakan, sistem OSS juga memiliki kelemahan. Salah satunya adalah fitur penentuan lokasi usaha yang belum sinkron dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) serta ketersediaan rencana detail tata ruang (RDTR).
Hal ini berimplikasi pada pendirian lokasi usaha yang tak sesuai dengan perencanaan daerah sebagaimana tercantum dalam RTRW atau RDTR. Pada aspek tata laksana, OSS juga belum terintegrasi utuh dengan sistem perizinan di kementerian dan lembaga.
Belum cukup
Dengan sejumlah kendala itu, KPPOD mengeluarkan rekomendasi, yakni seluruh regulasi mengenai OSS perlu ditinjau ulang agar tidak tumpang-tindih, integrasikan semua sistem, dan perbaiki fitur OSS sehingga mengurangi kendala teknis yang memperlambat birokrasi pelayanan.
Upaya memperbaiki ekosistem investasi dinilai belum cukup. Presiden Joko Widodo mengakui ada peningkatan dalam kemudahan berusaha dan penyederhanaan perizinan melalui OSS.
”Faktanya, semua itu belum cukup karena negara-negara pesaing kita berlomba-lomba untuk berbenah dengan tawaran lebih menarik untuk investasi,” ujarnya saat memimpin rapat terbatas terkait perbaikan ekosistem investasi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong menyatakan, persepsi internasional terhadap Indonesia sedang baik. Hal itu ditandai dengan rupiah yang terus menguat dan harga obligasi pemerintah yang terus naik. Namun, seperti disampaikan Presiden Jokowi pekan lalu, sebanyak 33 perusahaan asal China merelokasi usahanya, tetapi tak satu pun ke Indonesia. Dari 33 perusahaan itu, 23 perusahaan di antaranya memilih relokasi pabrik ke Vietnam, serta 10 lainnya ke Thailand, Malaysia, dan Kamboja.
Thomas menyebutkan, ada sejumlah kendala yang dikeluhkan investor, baik dalam negeri maupun luar negeri. Keluhan itu antara lain regulasi yang tidak jelas, tumpang-tindih, berubah-ubah secara mendadak tanpa pemberitahuan, perizinan yang bertele-tele, dan dibuat-buat.
Perpajakan juga masih dikeluhkan meski sudah banyak perbaikan. Keluhan lain terkait urusan lahan, seperti sengketa lahan, kesulitan membebaskan lahan, serta pengurusan izin bangunan dan sertifikat layak fungsi yang perlu waktu berbulan-bulan dan biaya besar. Sementara kendala lain terkait ketenagakerjaan.