JAKARTA, KOMPAS — Sedikitnya terdapat 70 undang-undang yang dianggap menghambat investasi dan kemudahan berusaha. Regulasi penghambat itu akan segera dihapus dan direvisi menyesuaikan perkembangan zaman.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, beberapa undang-undang (UU) terkait investasi diproduksi tahun 1980-1990. Bahkan, ada UU yang sejak zaman kolonial tidak pernah diperbaharui. Ketentuan peraturannya tentu tidak lagi relevan dengan kondisi nasional dan global saat ini.
“Produk perundang-undangan zaman Belanda, pola pikirnya adalah kolonial untuk koloni sehingga bukan dalam rangka melayani orang atau memperbaiki lingkungan investasi,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Sejauh ini teridentifikasi paling tidak ada 70 UU yang dinilai menghambat investasi. Regulasi yang rumit dan berbelit jadi alasan utama investor tidak memilih berinvestasi di Indonesia. Hal itu turut mengonfirmasi laporan berbagai lembaga internasional.
Menurut riset Bank Dunia, pada Juni-Agustus 2018, sebanyak 33 perusahaan asal China tidak memilih Indonesia untuk relokasi investasi dan ekspansi bisnis. Sebanyak 23 perusahaan memilih Viet Nam, sementara 10 perusahaan lainnya ke Cambodia, India, Malaysia, Mexico, Serbia, dan Thailand.
Sri Mulyani mengatakan, salah satu peraturan yang akan direvisi adalah UU tentang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP). Ketiga UU itu terakhir direvisi awal tahun 2000 sehingga ada beberapa peraturan yang tidak lagi relevan.
“Revisi UU diperlukan seiring perkembangan ekonomi digital. Dibutuhkan penyesuaian yang lebih, respons yang ada tidak cukup,” kata Sri Mulyani.
Selain merevisi, pemerintah tengah menyusun Rancangan UU tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian. Rancangan UU itu akan mengakomodasi hal-hal yang tidak masuk dalam UU PPh, PPN, dan KUP sehingga disebut omnibus law.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menambahkan, tenggat waktu penyusunan omnibus law itu satu bulan sesuai instruksi Presiden Joko Widodo. Penyusunan omnibus law dilakukan Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
“Kami membuat matriks, hasilnya, di ASEAN, Indonesia ini yang paling rumit regulasi dan perizinannya sehingga investasi lari ke tempat lain,” kata Luhut.
Menurut Luhut, UU yang ada masih menciptakan peluang bagi segelintir orang untuk menahan perizinan. Hal itu menyebabkan ketidakpastian berbisnis sehingga investor menolak datang ke Indonesia. Perbaikan akan dilakukan secepat mungkin untuk mengembalikan kepercayaan investor.
Perbaikan berkelanjutan
Ekonom senior yang juga Lead Adviser Prospera, Anton Gunawan berpendapat, revisi UU dan upaya lain untuk mendorong investasi harus dilakukan secara berkelanjutan. Hasil riset dan survey yang dilakukan beberapa lembaga internasional bisa jadi acuan untuk perbaikan iklim investasi.
Terkait regulasi, kata Anton, salah satu perbaikan yang mesti dilakukan pemerintah adalah pada bidang perpajakan. Perbaikan justru bukan dari aspek tarif pajaknya, tetapi fasilitas dan sistem secara keseluruhan. Penurunan tarif pajak bukan jaminan investasi akan meningkat signifikan.
“Inti permasalahan investasi di Indonesia bukan tentang tarif pajak, tetapi kepastian berusaha yang terkait perizinan dan distribusi logistik,” kata Anton.
Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2019, Indonesia menempati peringkat ke-112 dari 190 negara dalam urusan perpajakan. Peringkat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan Korea Selatan kendati besaran PPh badan sama. Korea Selatan menempati peringkat ke-24 dalam urusan kemudahan perpajakan.
Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2019, Indonesia menempati peringkat ke-112 dari 190 negara dalam urusan perpajakan.
Ekonom Unika Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, mengatakan, daya saing Indonesia menjadi tolak ukur investor. Dari 12 aspek daya saing yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indonesia hanya unggul dalam aspek ukuran pasar dibandingkan Malaysia dan Korea Selatan.
“Indonesia hanya unggul di satu aspek dibandingkan Malaysia dan Korea Selatan. Masalah ini harus diatasi dalam jangka panjang mulai dari isu produktivitas hingga struktural,” ujar Prasetyantoko.
Daya saing Indonesia dalam aspek penciptaan inovasi juga sangat rendah. Dari rentang 1-100, skor penciptaan inovasi Indonesia hanya 40. Rendahnya daya saing inovasi berkaitan dengan bidang pendidikan. Minat generasi muda untuk belajar Ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, dan matematik semakin berkurang.