Pada suatu masa, istilah ”anak indies” pernah jadi fenomena di kota-kota besar Indonesia, khususnya di Jakarta dan Bandung. Itu sebutan untuk para penyuka band-band pop atau rock yang berasal dari Inggris Raya.
Oleh
Herlambang Jaluardi
·5 menit baca
Pada suatu masa, istilah ”anak indies” pernah jadi fenomena di kota-kota besar Indonesia, khususnya di Jakarta dan Bandung. Itu sebutan untuk para penyuka band-band pop atau rock yang berasal dari Inggris Raya. Pada festival tahunan Soundrenaline 2019 di Bali akhir pekan lalu, dua pionirnya, Suede dan Primal Scream, menjadi penampil utama.
”Gue masih gemetaran ini, habis ketemu langsung dan foto bareng Bobby (Gillespie). Nggak nyangka bisa ketemu sama orang yang berpengaruh di musik gue,” kata Dipha Barus, Minggu (8/9/2019), di arena festival di Garuda Wisnu Kencana Cultural Park, Kabupaten Badung, Bali. Bobby adalah vokalis band Primal Scream, yang ia dirikan di Glasgow, Skotlandia, pada 1982.
Dipha punya kesempatan foto bareng idolanya itu di area belakang panggung karena punya akses sebagai penampil. Dipha adalah disc jockey kelahiran Jakarta, yang juga tampil di festival itu, dua jam setelah Primal Scream turun. Walau punya akses ke balik panggung, dia bersama rombongannya joget-joget dari arena penonton, tempat semestinya menonton konser.
Dari banyak band Inggris dengarannya, Dipha mengaku paling terpengaruh Primal Scream, terutama album Screamadelica, rilisan 1991. Majalah pop terbitan Inggris, NME, keluaran 2006 menempatkan album itu di urutan 23 dalam daftar 100 album terbaik sepanjang masa. Tak ada album Primal Scream lainnya di daftar itu.
Ketika diluncurkan, album itu mengejutkan banyak penyuka awal Primal Scream. Sebabnya, corak indie rock yang terkesan kasar di album-album sebelumnya mulai mereka tinggalkan. Di album ini, Primal Scream terpengaruh musik dan kultur disko ala house music, yang sedang menggejala.
Karakter pola berulang dan ketukan yang cenderung monoton jadi modal bagus buat musisi elektronika. Dalam konser peringatan 20 tahun album ini, Primal Scream memainkan seluruh lagu di album sepanjang dua malam di gedung Olympia, London Barat, pada 2010. Penampilan mereka di situ ditunjang sesi instrumen tiup dan paduan suara gospel.
”Bunyi drum loop, piano, dan gospel choir gue terinspirasi dari album Screamadelica. Aransemen bersuasana perayaan (festival) itu yang gue adaptasi di pentas gue,” lanjut Dipha, yang telah beberapa kali mengajak kelompok paduan suara di panggungnya.
Malam itu, ada tiga lagu dari Screamadelica, yaitu ”Movin’ On Up” sebagai pembuka, ”Higher than The Sun”, dan ”Loaded”. Bobby, Andrew Innes (gitar), Martin Duffy (keyboard), Darrin Mooney (drum), dan Simone Butler (bas) tampil sekitar 1 jam membawakan sebelas lagu.
Sentimen nasional
Malam sebelumnya, band asal London, Inggris, Suede, tampil di tempat yang sama dengan Primal Scream, yaitu A Stage. Penonton Suede terlihat lebih padat dibandingkan Primal Scream. Brett Anderson dan kawan-kawan sepertinya lebih populer dibandingkan gerombolan Bobby Gillespie itu.
Suede disebut-sebut media musik sebagai satu dari empat besar band pop Britania Raya bersama Blur, Oasis, dan Pulp. Empat band ini meraup popularitas besar di awal dekade 1990 meskipun Pulp telah memulainya sejak 1978.
Pada masa itu, Amerika mempunyai produk andalan mereka bernama grunge dengan Nirvana dan Pearl Jam sebagai pentolannya. Inggris tak mau kalah. Seolah ingin mengulang kejayaan ”invasi Inggris” yang dimulai Rolling Stones dan The Beatles pada 1960-an, Suede dan kompatriotnya bersekutu dalam gelombang Britpop tiga dekade kemudian.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC pada 2018, Brett Anderson menyebutkan, istilah ”Britpop” menjadi agak konyol karena menyinggung nasionalisme. ”’Britpop’ jadi agak congkak sekarang terutama setelah Brexit. Mungkin sekarang lebih enak menyebutnya ’europop’,” kata Brett.
Ungkapan Brett tentang nasionalisme itu bisa jadi benar. Morrissey, yang solo karier dan band awalnya The Smiths jadi panutan itu, belakangan ini ditengarai terafiliasi dengan gerakan sayap kanan Inggris.
Ambil gayanya
Pengaruh musik pop dari Inggris ini pernah sedemikian kuat merasuk tongkrongan kaum muda Indonesia. Irfan Muhammad, penulis buku Bandung Pop Darlings (EA Books, 2019) menyebutkan, ”invasi” Britpop ditebarkan oleh pelaku subkultur di Bandung dan Jakarta. ”Tapi, unsur politiknya tidak diambil, cuma demi gaya dan senang-senang,” kata Irfanpopish, nama penanya.
Salah satu titik semai Britpop di Bandung adalah komunitas skateboard di Taman Lalu Lintas. Ketika itu, orang-orangnya sudah terpapar musik metal dan punk. Di antara mereka ada yang punya akses pada rekaman-rekaman pop dari Inggris, baik itu lewat siaran parabola maupun membeli album di luar negeri.
Suede dan Blur, masing-masing gemilang lewat lagu awal mereka, ”The Downer” dan ”Popscene”. Band The Cure, yang awalnya bernuansa gothic dan punk, mengeluarkan album kesembilan mereka, Wish, pada 1992. Album itu terdengar lebih pop dan psikedelia, seperti kebanyakan band Inggris yang mentas di era itu. Amunisi Britpop membesar.
Popularitas itu membuat anak-anak musik di Bandung dan Jakarta membikin band duplikasi. Di masa awal kemunculannya, band Pure Saturday sering manggung membawakan lagu dari The Cure dan Ride, sementara band New Market adalah duplikat dari Suede.
Baru pada 1995, Pure Saturday—yang lingkarannya punya akses pada industri rekaman—mengeluarkan debut album yang isinya lagu ciptaan sendiri. Etos itu menginspirasi band Bandung lainnya menulis lagu sendiri. ”Misalnya, Cherry Bombshell dan Kubik yang terbentuk 1995, mengeluarkan album debut tahun 1997,” kata Irfan. Periode duplikasi usai.
Dinamika pengaruh Britpop pada wajah musik dalam negeri dibahas Irfan dalam buku setebal lebih dari 400 halaman itu. Di dalamnya ada tuturan 100 narasumber yang bercerita tentang bangunan ekosistem yang jadi fondasi kancah musik independen dalam negeri saat ini.
Pentas para pentolan seperti Suede, Primal Scream—dan sebelumnya Blur, Liam Gallagher (eks vokalis Oasis), Ride, juga Morrissey—di Indonesia bisa dianggap sebagai perayaan terbentuknya ekosistem musik itu.