Nawawi Pomolango merupakan calon pimpinan KPK pertama yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR. Selain dia, ada empat capim KPK lain yang juga akan diuji hari ini.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Nawawi Pomolango, menilai revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK perlu dilakukan. Prioritas kerja yang selama ini fokus pada penindakan tindak pidana korupsi juga perlu diubah pada pencegahan.
Hal ini disampaikan Nawawi saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) oleh Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Persetujuan atas revisi UU KPK merupakan respons dari pertanyaan sejumlah anggota Komisi III DPR, di antaranya Arsul Sani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Saiful Bahri Ruray dari Fraksi Partai Golkar.
”Sudah sangat terjawab, saya setuju pada revisi UU KPK,” kata Nawawi menegaskan jawabannya atas pertanyaan yang datang berulang-ulang.
Dia pun setuju perubahan sejumlah pasal yang diusulkan oleh DPR.
Pertama, soal pengubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Pegawai KPK dinilai sebagai bagian dari birokrasi pemerintah. Maka, sudah sewajarnya berstatus sebagai ASN.
”Jika pegawai KPK dimasukkan sebagai ASN, tidak ada ceritanya itu bagian dari negara yang beroposisi pada kebijakan politik pemerintah,” ujar Nawawi.
Menurut dia, ketidakpatuhan pegawai KPK pada kebijakan pemerintah selama ini merupakan masalah internal yang menghambat kerja lembaga. Hal itu sekaligus merepresentasikan kelemahan pimpinan KPK.
Poin revisi lain yang dia dukung terkait penyadapan.
Merujuk pada praktik di sejumlah negara, penyadapan selalu diatur dengan perizinan dan pengawasan yang ketat. Hasil penyadapan yang ditayangkan di pengadilan pun seharusnya hanya yang terkait dengan perkara yang disidangkan.
Sementara yang terjadi selama ini, menurut dia, hasil penyadapan yang ditayangkan di pengadilan tak jarang justru melanggar privasi seseorang.
Sebagai Ketua Majelis Hakim pada perkara korupsi daging sapi yang melibatkan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq dan pengusaha Ahmad Fathanah, dia mengatakan pernah menghentikan kehendak jaksa dari KPK untuk menayangkan hasil sadapan percakapan antara Fathanah dan sejumlah orang karena pembicaraan tak terkait dengan perkara.
”Negeri ini terlalu mudah memberikan penyadapan,” ujar Nawawi.
Nawawi juga mendukung agar KPK berwenang menghentikan penyidikan suatu perkara. Sudah banyak perkara menggantung yang merugikan tersangka.
”Kewenangan menghentikan penyidikan itu penting karena terkait dengan asas kepastian hukum dan itu merupakan asas KPK,” lanjutnya.
Operasi tangkap tangan
Dalam uji kelayakan dan kepatutan tersebut, Nawawi juga mengkritik kerja KPK yang belum optimal sejak berdiri 17 tahun lalu. Alasannya, KPK terlalu fokus pada penindakan, bukan pencegahan.
”Hal itu sebenarnya sesuai dengan Pasal 6 Huruf C UU KPK yang menyatakan bahwa tugas KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pencegahan diletakkan di ujung sekali (Pasal 6 Huruf D). Seharusnya pencegahan diletakkan pada bagian paling awal,” tuturnya.
Konsep pencegahan yang dimaksud adalah membangun sistem yang mampu menutup seluruh celah korupsi. Salah satu idenya adalah merumuskan kurikulum antikorupsi untuk diterapkan di sekolah-sekolah. ”Ibaratnya, anjing galak di sebuah rumah sehingga tidak ada pintu masuk bagi korupsi,” kata Nawawi.
Bagi Nawawi, selama ini kerja KPK identik dengan operasi tangkap tangan. Hal itu pun dinilai tidak berdampak signifikan pada pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Sebagaimana tampak pada indeks persepsi korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International, pada 2018 Indonesia hanya mendapatkan skor 38, naik empat poin dari 2014, yaitu 34.
Meski demikian, ia menampik bahwa operasi tangkap tangan tidak diperlukan. Akan tetapi, perlu penyempurnaan agar korupsi di ranah yang pernah dilakukan operasi tangkap tangan tidak terulang.
”Semestinya, setelah operasi tangkap tangan, KPK masuk ke wilayah tersebut, memberikan pelatihan dan pendampingan untuk memastikan korupsi tidak terjadi lagi,” ujar Nawawi.
Aksi fraksi
Nawawi merupakan kandidat pertama yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan. Selain dia, ada empat capim KPK lain yang juga akan diuji hari ini, yaitu Lili Pintauli Siregar, Sigit Danang Joyo, Nurul Ghufron, dan I Nyoman Wara. Sementara lima capim lainnya akan diuji Kamis (12/9/2019).
Lebih dari 10 pertanyaan dari sembilan fraksi disampaikan untuk Nawawi. Dalam tanya jawab yang berlangsung sekitar dua jam tersebut, hanya perwakilan dari Fraksi Partai Hanura yang tak datang.
Sebelum uji kelayakan dan kepatutan digelar, sejumlah fraksi menukar anggotanya yang duduk di Komisi III DPR. PDI-P, misalnya, memindahkan Said Abdullah dari Komisi III ke Komisi X, lalu digantikan oleh Utut Adianto. Fraksi itu juga memasukkan Aria Bima dari Komisi VI.
Hal serupa dilakukan Fraksi Partai Golkar dengan menukar Bambang Soesatyo dari Komisi III ke Komisi VI dan menggantikannya dengan Lili Asdjudiredja.
Pertukaran juga dilakukan Fraksi Partai Gerindra dengan memasukkan Susi Marleny (Komisi IV) dan Willgo Zainar (Komisi IX) untuk menggantikan Bambang Hariyadi yang pindah ke Komisi XI dan Wenny Warouw ke Komisi IV.
Dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Komisi III juga kedatangan anggota baru, yaitu Haerudin dari Komisi IX dan Daeng Muhammad dari Komisi VI.