Lampu Kuning Pengangguran Terdidik
Banyaknya anak bangsa yang menempuh pendidikan tinggi menjadi harapan bagi perbaikan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi tantangan di masa depan. Namun, bayangan kaum terdidik menjadi pengangguran juga menghantui jika institusi pendidikan tinggi dan lulusannya tidak mampu beradaptasi menjawab tuntutan zaman.
Hasil penerimaan mahasiswa baru lewat jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) beberapa waktu lalu menunjukkan, jumlah pendaftar yang lolos masuk 85 PTN mencapai 168.742 orang atau 23,6 persen dari total pendaftar. Jumlah ini terbanyak dalam lima tahun terakhir.

Sebanyak 5.360 mahasiswa mengikuti acara penerjunan kuliah kerja nyata (KKN) di Lapangan Pancasila Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 28 Juni 2019. Mereka akan mengikuti KKN selama 49 hari di 186 lokasi.
Pembukaan program studi baru ditengarai menjadi salah satu penyebab kenaikan angka tersebut, selain penambahan proporsi jalur SBMPTN dari minimal 30 persen menjadi minimal 40 persen pada 2019. Setidaknya ada 86 program studi baru yang ditawarkan PTN dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru 2019, baik lewat jalur prestasi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) maupun ujian tertulis SBMPTN.
Bukan tahun ini saja prodi baru bermunculan. Data Statistik Pendidikan Tinggi 2018 yang dikeluarkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menunjukkan, pada 2018 jumlah program studi yang dimiliki 4.670 lembaga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta sebanyak 27.779 prodi. Porsi terbesar dari prodi tersebut, atau 50,77 persen, disediakan oleh universitas.
Selebihnya terbagi di antara lembaga perguruan tinggi yang menyandang nama institut, sekolah tinggi, akademi, dan politeknik. Dibandingkan tahun 2017, jumlah prodi ini bertambah 7.263 atau 35 persen dari 20.516 prodi yang sudah ada.
Penambahan prodi baru dan daya tampung membuka kesempatan luas bagi lulusan sekolah menengah atas untuk meningkatkan pendidikan mereka. PTN dan PTS sama-sama berpeluang besar untuk menjaring mahasiswa baru dengan keunggulan masing-masing.
Kehadiran PTS mengatasi keterbatasan jumlah PTN. Hingga sekarang jumlah PTN hanya 85 lembaga yang tersebar di 34 provinsi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 35 PTN (41 persen) berada di Pulau Jawa.
Institusi pendidikan tinggi
Dengan hampir 30.000 prodi yang dimiliki oleh total 4.670 PTN dan PTS, setiap calon mahasiswa memiliki pilihan kampus yang beragam untuk menimba ilmu. Banyak pertimbangan untuk menjatuhkan pilihan, mulai dari reputasi perguruan tinggi dan program studi, biaya kuliah, daya tampung, lokasi kampus, hingga kegiatan kampus.
Dalam melihat reputasi atau kualitas suatu kampus, salah satu ukuran yang bisa dipakai adalah akreditasi perguruan tinggi, baik akreditasi institusi maupun akreditasi program studi. Mencermati data akreditasi di laman Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi per awal Agustus 2019, baru sekitar separuh dari total perguruan tinggi atau 2.268 institusi perguruan tinggi yang sudah terakreditasi.
Dari jumlah tersebut, institusi yang terakreditasi dengan peringkat A hanya 4,2 persen atau 96 perguruan tinggi. Porsi terbesar, yaitu 57 persen, terakreditasi dengan peringkat C. Sisanya, 38,8 persen, terakreditasi dengan peringkat B.
Komposisi yang berbeda tampak pada akreditasi program studi. Dari 20.790 program studi yang sudah terakreditasi, sebanyak 57 persen prodi terakreditasi dengan peringkat B. Sebanyak 18,1 persen prodi terakreditasi dengan peringkat A, dan prodi yang terakreditasi dengan peringkat C sebesar 24,9 persen.
Khusus prodi jenjang S-1, sebanyak 56 persen terakreditasi B. Adapun prodi terakreditasi dengan peringkat A dan C masing-masing 15,6 persen dan 27,4 persen.
Dengan data ini, tampak belum banyak kampus masuk peringkat A. Ada lebih banyak kampus yang berada di peringkat C. Bisa dikatakan, secara keseluruhan kualitas perguruan tinggi kita belum begitu bagus. Namun, dari segi prodi, mayoritas kualitasnya lebih baik karena berada di peringkat B.
Pada 2019 terdapat enam perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam daftar 500 besar perguruan tinggi dunia versi 4icu University Rankings. Keenamnya adalah Universitas Gadjah Mada (peringkat 176), Universitas Negeri Yogyakarta (221), Universitas Indonesia (257), Universitas Brawijaya (408), Universitas Pendidikan Indonesia (414), dan Universitas Diponegoro (439).
Adapun berdasarkan pemeringkatan Webometrics, pada tahun yang sama, peringkat perguruan tinggi Indonesia berada di atas urutan 500. UI menempati peringkat 771. UGM dan ITB masing-masing berperingkat 853 dan 862.
Beberapa perguruan tinggi tersebut pada tahun ini menjadi kampus yang diminati banyak pendaftar. Mereka adalah Universitas Brawijaya, Universitas Diponegoro, dan Universitas Pendidikan Indonesia.
Pembukaan program studi baru di perguruan tinggi akhirnya bisa dilihat memiliki dua tujuan. Pertama, menjaring jumlah mahasiswa lebih banyak. Kedua, menyediakan bidang keilmuan yang saat ini dan masa datang dipandang sangat dibutuhkan.
Universitas Brawijaya, misalnya, tahun ini menjadi kampus dengan jumlah peminat terbanyak (55.871 peserta). Universitas ini membuka lima prodi baru khusus Program Studi di Luar kampus (PSDKU) Kediri, yaitu prodi agroekoteknologi, agribisnis, akuakultural, peternakan, dan sosial ekonomi perikanan. Lima prodi itu termasuk dalam bidang keilmuan sains dan teknologi (saintek).
Sesuai dengan tren pendidikan global, saintek menjadi bidang yang sejalan dengan perkembangan teknologi dan dunia digital. Beberapa prodi baru di bidang saintek antara lain prodi teknik geomatika, bioteknologi, biologi terapan, dan akuakultur. Mengingat teknologi juga perlu diterapkan di bidang pertanian, muncul prodi seperti teknologi industri pertanian dan agroekoteknologi.

Lulusan perguruan tinggi
Saat perguruan tinggi membenahi bidang keilmuan agar dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman, calon mahasiswa mesti pandai memilih prodi yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan orientasi pekerjaan di masa depan. Hal ini penting dilakukan agar lulusan perguruan tinggi tidak menjadi beban di masa depan karena tak menganggur.
Akibat disrupsi teknologi, peta lapangan pekerjaan akan berubah. Jenis atau bidang pekerjaan dalam lima atau sepuluh tahun ke depan mungkin belum ada sekarang. Hal ini sama seperti beberapa pekerjaan yang ada sekarang, tetapi belum muncul pada lima atau sepuluh tahun lalu.
Jumlah lulusan perguruan tinggi akan bertambah sebagai akibat dari pembukaan prodi baru atau peningkatan daya tampung prodi. Tahun 2018, jumlah lulusan perguruan tinggi 1.247.116 orang. Jumlah ini meningkat 19 persen dibandingkan tahun 2017 (1.046.141 orang). Persoalannya, seberapa besar jumlah ini bisa terserap dalam pasar tenaga kerja.
Tahun 2019, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, terdapat 1.108.995 orang yang disebut pengangguran terdidik, yaitu lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana) yang masuk dalam kelompok pengangguran terbuka. Jumlah ini lebih kurang sama dengan kondisi sepuluh tahun lalu (2009).
Pemerintah telah berupaya menekan angka pengangguran terbuka. Salah satunya melalui program padat karya. Upaya tersebut cukup berhasil, dilihat dari penurunan angka pengangguran 15 tahun terakhir. Pada 2004, terdapat 10,25 juta pengangguran terbuka. Pada Februari 2019, jumlahnya turun menjadi 6,82 juta orang.
Meski demikian, data tahun 2014 hingga sekarang menunjukkan jumlah pengangguran terdidik bertambah. Pada 2014, jumlah pengangguran terdidik 593.000 orang, sedangkan tahun ini jumlahnya menjadi 1,1 juta orang. Selain itu, secara porsi, persentase pengangguran terdidik terhadap total pengangguran terbuka tahun ini tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu mencapai 16,2 persen.
Kondisi ini seharusnya menjadi lampu kuning bagi pemerintah bahwa ada persoalan di bidang pendidikan tinggi dan ketenagakerjaan kita. Sudah sesuaikah kapasitas lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri atau lapangan kerja?
(LITBANG KOMPAS)