Sebagai negara dengan jumlah kasus baru kusta terbanyak di dunia, Indonesia harus serius belajar dari penanganan penyakit ini di tingkat global. Program yang berkesinambungan dan konsisten menjadi kunci kesuksesannya.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Kusta menjadi ancaman peradaban manusia selama ribuan tahun saat peradaban China dan India kuno mencatatnya pertama kali. Dalam kitab suci, penyakit itu pernah dituding sebagai simbol hukuman atas dosa seseorang. Bahkan, ada mitos yang menganggap itu sebagai kutukan. Hingga kini, penyakit yang disebabkan sejenis bakteri ini belum ditemukan vaksinnya..
Kasus kusta hampir dapat ditemukan di seluruh penjuru dunia, tetapi ada beberapa negara yang menjadi ”titik panas” penyakit ini. Negara-negara tersebut umumnya bercorak iklim tropis, yaitu India, Brasil, Indonesia, Kongo, dan Bangladesh. India, Brasil, dan Indonesia menjadi negara dengan kasus kusta baru terbanyak, mencakup 80 persen kasus kusta dunia.
Sebagai negara dengan penderita kusta terbanyak ketiga di dunia, Indonesia tentu harus belajar. Pelajaran pertama yang dapat diambil adalah pentingnya menghilangkan stigma terhadap penderita kusta karena akan mempersulit penanganan kusta.
Penanganan kusta juga bisa berhasil jika didukung oleh riset yang menghasilkan cara agar pemangku kebijakan tepat dalam menangani penderita kusta. Penting bagi Indonesia untuk terus mengembangkan penelitian terkait kusta agar angka prevalensi bisa terus ditekan.
Kasus kusta hampir dapat ditemukan di seluruh penjuru dunia, tetapi ada beberapa negara yang menjadi ”titik panas” penyakit ini.
Dari kisah penanganan kusta di bawah arahan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pengalaman India menangani kusta, Indonesia bisa belajar banyak. Pada awalnya, WHO dan India memulai langkah dengan mengedukasi masyarakat dan mengupayakan agar posisi penyakit kusta bisa sejajar dengan penyakit menular lainnya. Dengan hilangnya stigma, langkah pengobatan akan semakin mudah bagi penyandang kusta.
Catatan menunjukkan, perjuangan negara India melawan kusta telah diperkuat dengan penelitian sangat lama. Sebagai salah satu negara titik panas penyakit kusta, India telah memulai perjuangannya lebih dari enam dekade lalu. Institusi pertama yang menginisiasi penanganan kusta bukan pemerintah, melainkan lembaga swadaya masyarakat bernama Gandhi Memorial Leprosy Foundation (GMLF) pada tahun 1952.
Pihak GMLF menggagas studi untuk memetakan penderita kusta di India sembari memberikan edukasi kepada setiap keluarga. Cara yang mereka beri nama SET (survey, education, and treatment) atau survei, edukasi, dan terapi ini dianggap berhasil dan kemudian dilanjutkan Pemerintah India.
Perlu lembaga
Pada tahun 1955, Pemerintah India membentuk National Leprosy Control Programme (NLCP), program yang spesifik bertugas menangani kusta. Agenda pertama NLCP adalah membentuk pusat kusta pada tahun 1958 dan melanjutkan SET. Hasilnya, pada 1980 India berhasil memetakan demografi penyandang kusta secara nasional beserta prevalensinya.
Pada tahun 2005, kusta sudah bukan lagi sebagai masalah kesehatan tingkat nasional. Bahkan, pada tahun 2010 prevalensi kusta berhasil ditekan hingga angka 0,69 per 10.000 penduduk. Artinya, kusta mengecil jadi masalah kesehatan yang terlokalisasi setelah tereliminasi secara nasional.
Di tingkat global, terekam jalan panjang strategi global kusta atau Global Leprosy Strategy melawan penyakit kusta. Pada 1970, terjadi lompatan dalam melawan kusta saat metode obat kombinasi atau multidrug treatment (MDT) ditemukan dan diuji klinis kepada penyandang kusta di Kepulauan Malta. Penemuan MDT ini kemudian menjadi awal mula kebangkitan dunia dalam melawan kusta. Hingga kini, lebih dari 16 juta penderita kusta berhasil diobati.
Pada 1970, terjadi lompatan dalam melawan kusta saat metode obat kombinasi atau multidrug treatment (MDT) ditemukan dan diuji klinis kepada penyandang kusta di Kepulauan Malta.
WHO juga tak tinggal diam dalam penanganan kusta. Sejak awal 1990-an hingga kini, WHO secara berkala menyediakan panduan memberantas kusta. Panduan itu berisi prinsip dan petunjuk teknis penerapan program di lapangan.
Babak pertama Global Leprosy Strategy berfokus pada eliminasi kusta. Menurut standar WHO, eliminasi itu bisa dicapai jika prevalensi kusta dapat ditekan hingga 1 kasus setiap 10.000 warga. Strategi yang dicanangkan WHO hingga tahun 2006 berfokus pada mobilisasi sumber daya, terutama terapi MDT.
Hal itu dilanjutkan program strategi global mengurangi beban kusta dan pengendalian kusta berkelanjutan pada 2006 serta strategi global yang disempurnakan untuk lebih lanjut mengurangi beban kusta pada 2011. Dua strategi itu menjadi babak kedua penanganan kusta di bawah arahan WHO dengan memindahkan fokus dari eliminasi kusta menjadi kecacatan akibat kusta.
Butuh konsistensi
Babak selanjutnya dimulai saat WHO mencanangkan program Akselerasi Menuju Dunia Bebas Kusta pada 2016. Periode itu berfokus pada deteksi dini kusta dan pengobatan yang cepat tanggap untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penularan di masyarakat. Rencana itu diharapkan membebaskan dunia dari kusta.
Artinya, dunia terbebas dari kusta secara utuh, baik penyakit, cacat, hingga konsekuensi sosial. Untuk itu, WHO mengarahkan penanganan kusta dengan mendorong pengenalan satu jenis pengobatan bagi semua kategori kusta, penyaringan kontak fisik dengan penderita, dan meningkatkan kegiatan deteksi kasus dini di kantong endemik.
Meski memiliki fokus berbeda-beda, ada satu benang merah yang sama di setiap babak, yakni sensitivitas pada beban stigma terhadap pengidap kusta. Sadar bahwa stigma bisa menghambat penanganan kusta, sejak awal penghilangan stigma menjadi salah satu agenda WHO yang dipertahankan hingga saat ini.
Pelajaran terakhir yang harus dipetik pemerintah ialah konsistensi. Upaya penanganan kusta tak dapat dijalankan dalam semalam. Bagi dunia, butuh perjalanan panjang selama hampir lima dekade. Bahkan, India memerlukan waktu lebih dari enam dekade. Maka, konsistensi penanganan yang disertai program berkesinambungan diperlukan jika ingin mewujudkan Indonesia tanpa kusta pada 2020. (LITBANG KOMPAS/RANGGA EKA SAKTI)