Melalui pameran manuskrip ini, diharapkan masyarakat bisa mempelajari nilai-nilai universal dari ajaran Siddharta Gautama mengenai kemanusiaan dan welas asih.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Semangat keadilan dan perdamaian telah digaungkan di dalam Kitab Sutra Teratai sejak 2.500 tahun yang lalu. Melalui pameran manuskrip ini, diharapkan masyarakat bisa mempelajari nilai-nilai universal dari ajaran Siddharta Gautama mengenai kemanusiaan dan welas asih.
Pameran Kitab Sutra Teratai diadakan di Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat, pada 10-24 September. ”Ini bagian dari komitmen UI memberi ruang inklusif untuk berbagi ilmu pengetahuan dan mengadakan dialog karena keluasan wawasan masyarakat akan meningkatkan toleransi dan penghargaan atas perbedaan yang kemudian menghasilkan perdamaian,” kata Rektor UI Muhammad Anis ketika membuka pameran di Depok, Selasa (10/9/2019).
Pameran diselenggarakan melalui kerja sama dengan organisasi masyarakat untuk perdamaian berlandaskan pemahaman Buddhisme, Soka Gakkai Indonesia dan Institut Filsafat Oriental (IFO) yang berada di bawah naungan Soka Gakkai Internasional. Ketua Umum Soka Gakkai Indonesia Peter Nurhan mengatakan, pameran melihat Kitab Sutra Teratai dari sisi akademik melalui kajian riset oleh ataupun perguruan tinggi serta lembaga riset internasional lainnya.
”Kitab Sutra Teratai merupakan kitab terpenting di dalam agama Buddha. Pesan utamanya adalah setiap manusia memiliki jiwa yang unik dan wajib dihargai. Permusuhan sesungguhnya merupakan hal yang tidak manusiawi,” ujarnya. Dalam kondisi terjadinya letupan-letupan emosi secara sporadis di Indonesia, prinsip ini bisa digunakan untuk mengingatkan masyarakat mengenai perdamaian dan persatuan bangsa.
Setiap manusia memiliki jiwa yang unik dan wajib dihargai. Permusuhan sesungguhnya merupakan hal yang tidak manusiawi.
Berbuat baik
Kitab Sutra Teratai tercatat pertama kali ditulis pada 100 tahun sebelum Masehi (SM) dalam bahasa Sanskerta. Nama aslinya adalah Saddharma Pundarika Sutra. Istilah teratai digunakan oleh Siddharta Gautama atau Buddha Sakyamuni untuk menggambarkan manusia dan kehidupannya.
Bunga teratai selalu indah dan bersih walaupun tumbuh di tengah kolam berlumpur. Demikian pula dengan manusia, jenis kelamin dan status sosial ketika dilahirkan tidak menjadikan seseorang lebih mulia ataupun hina daripada yang lain.
Perilaku dan perbuatan seseorang yang menentukan kemuliaannya di masyarakat dan semuanya dilakukan dengan cara saling menghormati. Dalam hal ini, setiap orang memiliki potensi untuk menjadi teratai yang bisa mekar dari apapun latar belakang pribadi dan sosialnya.
Selama 2.500 tahun penyebaran agama Buddha dari India ke China, Tibet, Jepang, Korea, hingga ke Nusantara, manuskrip Kitab Sutra Teratai telah ditulis dalam berbagai bahasa. Pameran ini menunjukkan replika manuskrip yang ditemukan di Jambi pada abad ke-10 yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan menggunakan aksara Bali.
Beberapa penemuan manuskrip yang terbesar adalah di Goa Mogao di Dunhuang, Provinsi Gansu China, pada 25 Juni 1900. Selain itu, juga ditunjukkan replika sebagian manuskrip dalam bahasa Sanskerta yang ditemukan oleh Konsuler Jenderal Rusia di Xinjiang, China, pada 1892. Ada pula manuskrip dalam bahasa Xi Xia, sebuah negara yang dahulu berada di Khara-Khoto, wilayah otonomi Mongolia Dalam, China, yang ditemukan oleh penjelajah Rusia, Pyotr Kuzmich Kozlov, pada rentang 1907-1909.
Ketika semua manuskrip digabungkan, terungkap Kitab Sutra Teratai memiliki 28 bab yang terdiri dari tujuh parabel dan empat cerita khusus. Siddharta Gautama memilih menyebarkan ajarannya dengan menggunakan parabel yang tidak terkesan menggurui, menghibur, sekaligus bermakna dalam.
Direktur Eksekutif IFO Akira Kirigaya yang bertindak sebagai kurator pameran mengatakan, Kitab Sutra Teratai adalah warisan spiritual milik dunia. Selain Indonesia, kitab ini sudah dipamerkan di 16 negara.
”Sama seperti Candi Borobudur, Kitab Sutra Teratai mengusung nilai kemanusiaan universal untuk memperkuat persaudaraan antarbangsa, antarbudaya, dan antaragama,” ucapnya.