Tantangan Mencari Bibit di Cabang Tak Populer
Mencari bibit atlet berbakat tak semudah seperti saat didikusikan. Salah satu tantangan tersulit adalah banyak cabang olahraga yang kurang populer dan diminati masyarakat.
Ketua Umum PB PASI Bob Hasan ditemui di Jakarta, pekan lalu, mengatakan, salah satu hambatan regenerasi atlet atletik adalah kurangnya minat warga menggeluti induk cabang olahraga itu. Sejak 1960an, atletik Indonesia cenderung dapat atlet andal karena faktor ”kebetulan”. Biasanya, atlet andalan itu tidak memiliki pelapisnya karena minimnya sumber daya atlet, sehingga sulit mencari atlet berbakat.
Di nomor lari jarak pendek misalnya. ”Sejak 1960an hingga 2000an, Indonesia hanya punya satu pelari top untuk satu periode. Mulai dari Mohammad Sarengat era 1960-1970an, Purnomo era 1970-1980an, Mardi Lestari era 1980-1990an, hingga Suryo Agung Wibowo di era 2000an,” ujar Bob.
Menurut Bob, kondisi ini diperparah minimnya perhatian pemerintah. Tidak semua daerah punya lapangan atau stadion khusus atletik. Khusunya di nomor lapangan yang membutuhkan alat atau kondisi khusus, seperti lari gawang, halang rintang, nomor lompat dan lempar.
Atletik juga berbenturan dengan sepak bola. Tak sedikit atlet atletik berbakat justru lebih berminat menjadi pemain sepak bola. Di nomor lari jarak pendek, tak sedikit pelari awalnya adalah pemain sepak bola, termasuk Purnomo, Mardi Lestari, Suryo Agung, hingga Lalu Muhammad Zohri.
”Beruntung para pelatih daerah bisa merayu mereka untuk terjun dan fokus di dunia atletik. Kalau tidak, mereka sudah jadi pemain sepak bola, bukan atlet atletik,” katanya.
Selain lebih populer, sepak bola mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki lapangan sepak bola. Belakangan, sejumlah ibukota provinsi berlomba membuat stadion sepak bola taraf internasional.
Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung menyampaikan, pihaknya pernah bekerja sama dengan sejumlah SSB untuk mencari bakat baru atlet atletik. Namun, cara itu tidak bisa terus menerus digunakan. Sebab, SSB juga punya kepentingan dan tujuan sendiri.
”Harusnya, pemerintah lewat sekolah mewajibkan pelajar untuk mengenal dulu cabang induk olahraga seperti atletik, senam, dan renang. Dari atletik dan senam, mereka akan dapat dasar olahraga yang bisa dikembangkan ke cabang olahraga lain,” tutur Tigor.
Dari dasar
Dukungan untuk pembinaan atlet dari tingkat dasar disampaikan Wakil Ketua Umum PB PB PRSI Harlin Rahardjo. Menurut dia, pembinaan olahraga itu harus dijalani mulai dari sekolah. ”Sekolah harus mendukung siswa berprestasi di bidang olahraga. Jadi, sekolah dan olahraga dapat berjalan beriringan,” katanya.
Harlin mencontohkan, pembinaan olahraga di China, Singapura, dan Amerika Serikat berkembang dengan baik karena sistem pembinaan olahraga yang berkelanjutan, mulai dari sekolah. Pelajar tidak hanya berlatih, tetapi juga mengikuti kompetisi antarsekolah dan perguruan tinggi yang sangat teratur, konsisten, dan berjenjang.
Peraih medali emas Olimpaide Rio de Janeiro 2016, Joseph Schooling, adalah contoh atlet Singapura yang diproduksi dari pembinaan di tingkat sekolah. Schooling lalu melanjutkan pendidikan sambil berlatih di Universitas Texas, Amerika Serikat.
Harlin menilai, pembinaan olahraga mulai dari sekolah sangat penting karena atlet dapat memiliki masa depan lebih baik dengan gelar pendidikan. ”Selain itu, pola pikir mereka juga lebih baik sehingga mendukung karier sebagai atlet,” katanya.
Mengoptimalkan momentum
Di tengah beragam masalah itu, pengurus induk cabang olahraga berusaha mengoptimalkan momentum yang didapat. Usai Zohri juara Kejuaraan Dunia U-20 2018, perhatian masyarakat pada nomor lari jarak pendek meningkat drastis. Pada Kejuaraan Nasional Atletik 2019, peserta lari jarak pendek 100 meter dan 200 meter lebih dari 50 persen dari total peserta kejuaraan tahunan tersebut.
Melihat fenomena itu, PB PASI pun gencar memperhatikan atlet remaja dan yunior di daerah. Selain tidak ingin menyia-nyiakan bibit baru pelari jarak pendek yang kian tumbuh, mereka sadar potensi Indonesia mampu mencapai level tertinggi pentas dunia seperti yang dilakukan Zohri.
Zohri terus melejit seusai mencetak waktu 10,18 detik dan juara Kejuaraan Dunia U-20 2018. Pada Kejuaraan Asia di Doha, Qatar, April lalu, Zohri dua kali memecahkan rekor nasional 100 meter. Pada semifinal, ia mencetak waktu 10,15 detik yang memecahkan rekornas 100 meter milik Suryo Agung 10,17 detik (2007). Pada final, dia mempertajam rekor itu menjadi 10,13 detik dan meraih medali perak.
Zohri belum selesai, dia menaikkan lagi standarnya saat meraih perunggu 100 meter Golden Grand Prix Osaka, Jepang, Mei lalu, dengan waktu 10,03 detik. Sprinter tercepat Asia Tenggara itu pun menembus limit Olimpiade Tokyo 2020, yakni 10,05 detik.
”Sebelumnya ada yang salah dalam pembinaan sehingga hanya punya satu atlet andalan di setiap periode, terutama di nomor lari 100 meter. Kami tidak ingin mengulang itu dan fokus ke pembinaan atlet muda agar punya banyak pilihan atlet dan bisa terus berprestasi secara berkelanjutan. Kita tidak mau hanya mengandalkan Zohri saja. Kita ingin mencetak 10-20 orang Zohri baru,” ujar Bob.
Niat itu bukan isapan jempol. Bob menginstruksikan agar Zohri tidak lagi turun di level Asia Tenggara, termasuk SEA Games 2019. Dia meminta Zohri fokus ikut kejuaraan level Asia dan dunia. Untuk SEA Games, ia memberikan kesempatan lebih besar kepada para atlet remaja dan yunior.
”Kalau level SEA Games, Zohri tidak perlu turun lagi. Level dia itu sudah dunia. Jadi, lebih baik dia fokus saja ikut seri kejuaraan dunia dan Olimpiade. Untuk SEA Games, biarlah itu untuk atlet remaja dan yunior agar pengalaman internasional mereka bertambah. Mungkin atlet muda itu belum bisa memberi medali, tetapi, dengan pengalaman yang didapat sejak muda, mereka punya modal mental yang baik untuk ikut kejuaraan lain yang lebih tinggi,” kata Bob.
Menjaga performa
Untuk Zohri yang sudah mencapai level tinggi, pelari asal Lombok Utara, NTB itu juga tidak mau hanya sekali lewat di level tersebut. Pelari berusia 20 tahun itu punya tekad agar karirnya berlangsung lama.
Dalam jangka pendek, Zohri punya target berlari di bawah 10 detik. Impiannya mencapai zona 9 detik itu terbuka saat dirinya tampil di Kejuaraan Dunia Atletik 2019, Doha, Qatar pada 27 September hingga 6 Oktober.
Dalam jangka panjang, Zohri ingin menjadi juara dunia dan meraih medali emas di nomor lari 100 meter Olimpiade. Mimpi itu bukan mustahil untuk terwujud melihat potensi dan grafik Zohri yang sangat pesat, terutama dalam dua tahun terakhir.
Tapi, Zohri tidak boleh terburu-buru dan harus selalu menjaga kondisi. Jika latihanya terlalu diforsir dalam waktu singkat, itu justru bisa menghancurkan kariernya di masa depan. Tubuhnya bisa rawan cedera ketika memasuki level senior.
Zohri menyadari itu sehingga belatih sesuai porsi yang diberikan pelatih. Dia juga berlatih sungguh-sungguh karena merasa masih banyak kekurangan. Selain meningkatkan daya tahan kepecatan, dia mengaku masih perlu memperbaiki reaksi startnya. Beberapa kali kepalanya masih menunduk ketika lepas dari start block. Padahal, seharusnya kepalanya sejajar dengan kemiringan punggung.
Zohri juga selalu menjaga kebugaran dengan makan tepat waktu pagi, siang dan malam. Ia mengurangi ngemil, terutama tidak makan gorengan. ”Saya juga berusaha tidur tepat waktu, yakni jam sembilan atau sepuluh malam sudah tidur. Bahkan, sehabis latihan pagi, sebisa mungkin saya tidur agar tubuh kembali fit saat latihan sore. Terakhir yang tak boleh dilupakan adalah shalat dan berdoa agar usaha saya diridai Allah,” tutur atlet kelahiran 1 Juli 2000 itu.
Pelatih kepala sprint PB PASI Eni Nuraini juga sangat menjaga Zohri. Walau Zohri sudah bisa melebihi kecepatan para pelari senior nasional, Eni tetap memperlakukan Zohri sebagaimana usia sang atlet yang masih di level yunior. Eni paham betul kalau mengkarbit atlet muda akan membuat grafik atlet cepat melesat tetapi memasuki usia senior mereka cenderung biasa-biasa saja bahkan menurun.
”Kalau atlet muda dipaksa latihan dengan porsi di atas level usianya, mereka memang bisa cepat jadi. Tetapi, ketika memasuki usia senior, biasanya tubuhnya mengalami kejenuhan untuk berkembang lagi. Tak sedikit, atlet karbitan menjadi cepat hebat saat muda tetapi menurun saat senior. Selain tubuhnya sudah jenuh untuk berkembang, ia juga rawan cedera karena fisiknya sangat lelah sejak muda. Saya tidak ingin itu terjadi pada Zohri. Bahkan, kami menargetkan puncak performa Zohri itu pada 2024,” ujar Pelatih Atletik Terbaik Asia itu.