JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta menunjukkan kemajuan perkembangan moratorium sawit yang dilaporkan kementerian kepada Presiden setiap enam bulan sekali. Instruksi Presiden Moratorium Sawit yang telah berjalan setahun terakhir dinilai belum menunjukkan perkembangan bagi perbaikan tata kelola serta peningkatan produktivitas perkebunan sawit.
Analisa spasial terbaru Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan perkebunan sawit seluas 1 juta hektar milik 724 perusahaan ditemukan di areal-areal yang seharusnya dilindungi dalam peta indikatif penghentian pemberian izin baru (PIPPIB) XV. Rinciannya sejumlah 384 perusahaan di area gambut (seluas 540.822 ha), 102 perusahaan di hutan alam primer (237.928 ha), dan 238 perusahaan di kawasan hutan (222.723 ha).
Temuan ini menunjukkan menunjukkan benang merah antara Inpres 8 Tahun 2018 (Inpres Moratorium Sawit, Inpres 5 Tahun 2019 (Inpres Penghentian Izin di hutan alam primer dan gambut), serta Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 (pembentukan Badan Restorasi Gambut), tidak terintegrasi atau masih bekerja sendiri-sendiri. Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya, Selasa (10/9/2019), di Jakarta, mengatakan idealnya ketiga kebijakan terkait di level presiden ini berelasi dan saling memperkuat.
Temuan 1 juta ha di PIPPIB revisi XV tersebut menunjukkan moratorium hutan/gambut belum berelasi dengan moratorium sawit serta pekerjaan BRG di lapangan. “Dampaknya ada 333 dari 724 perusahaan sawit berada di kawasan prioritasa restorasi gambut,” kata dia. Perusahaan yang berada di area prioritas restorasi wajib merestorasi arealnya dengan menyusun dan menjalankan dokumen pemulihan melalui asistensi dari KLHK atau BRG.
Temuan 1 juta ha di PIPPIB revisi XV tersebut menunjukkan moratorium hutan/gambut belum berelasi dengan moratorium sawit serta pekerjaan BRG di lapangan.
Selain Madani, beberapa waktu lalu Greenpeace Indonesia memaparkan temuan serupa yaitu 1.026.585 ha kebun sawit di PIPPIB XV. Analisa berseri pada PIPPIB I hingga PIPPIB XV, terdapat 600.000 ha areal yang diantaranya 336.000 ha areal gambut dikeluarkan dari peta perlindungan tersebut.
“Kami khawatir bila seperti ini terus, maka satu juta ha ini akan bernasib sama dengan 600.000 ha tersebut,” kata Arie Rompas, Greenpeace Indonesia.
Ia menagih peninjauan ulang dan sanksi yang diamanatkan Inpres 8 Tahun 2018 untuk dikerjakan. Di dalam inpres tersebut, Presiden memberi tugas kepada Menteri Koordinator Perekonomian untuk melakukan hal-hal tersebut bersama kementerian terkait.
Setiap enam bulan
Ahmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch pun menagih laporan pertanggungjawaban pelaksanaan moratorium sawit setiap enam bulan sekali dalam Inpres 8. “Presiden harus meminta laporan dari anak buahnya karena itu ada dalam Inpres 8 sehingga ada perkembangan-perkembangan dan hambatannya,” kata dia.
Dia meminta Presiden serius menjalankan Inpres yang ditandatangani tersebut. Jangka waktu tiga tahun – sejak tahun 2018 – dinilai tidak panjang dan mendesak agar perbaikan tata kelola gambut bisa diselesaikan dan isu sawit tidak lagi menjadi “bulan-bulanan” pasar internasional.
“Semua kebijakan sudah lengkap. Sudah dilarang dan di-review. Tinggal keseriusan pemerintah,” kata dia.
Ia mengatakan hasil analisa Madani tersebut telah diserahkan kepada Tim Kerja Inpres 8 tahun 2018 di Kementerian Koordinator Perekonomian. Dalam kesempatan itu, ia mengetahui tahapan Inpres 8 tahun 2018 saat ini baru tahap persiapan dengan menyatukan data dan lokasi perkebunan sawit yang akurat di Indonesia.
Hasil analisa Madani tersebut telah diserahkan kepada Tim Kerja Inpres 8 tahun 2018 di Kementerian Koordinator Perekonomian.
Menurut Surambo, hal ini membuang waktu karena pemerintah – saat KPK menjalankan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) – telah menginventarisasi luas lahan sawit 16 juta ha atau lebih luas 2,8 juta ha dibandingkan data Kementerian Pertanian. GNPSDA pun menemukan 3,47 juta hektar sawit berada di kawasan hutan.
“Ini seperti kerja proyek di belakang meja. Selama setahun Inpres Moratorium Sawit kerjanya inventarisasi saja kok sayang sekali. Tidak ada aksi misalnya eksekusi pada kebun yang tumpang tindih,” kata dia.