Pelanggaran aturan pembatasan kendaraan dengan sistem ganjil-genap di Jakarta masih tinggi. Sebagian pelanggar berkilah mereka belum menerima sosialisasi tentang aturan ini.
Oleh
Aguido Adri dan Aditya Diveranta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah pelanggaran perluasan pembatasan kendaraan dengan sistem ganjil-genap di Jakarta masih tinggi, Selasa (10/9/2019). Sebagian pengendara yang melanggar beralasan belum menerima sosialisasi mengenai aturan ini.
Berdasarkan pemberlakuan perluasan ganjil-genap di sejumlah lokasi pukul 06.00-10.00, di Jakarta Timur, total pelanggaran mencapai 202 di Jalan DI Panjaitan, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Jalan MT Haryono, dan Jalan Pramuka. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pelanggaran hari pertama sebanyak 153 pelanggaran.
Di Jakarta Barat, jumlah pelanggaran mencapai 154. Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat Komisaris Hari Admoko mengatakan, jumlah tersebut tidak jauh berbeda dari hari pertama yang totalnya 153 pelanggaran.
Hari berharap, mulai Rabu (11/9/2019), jumlah pelanggar semestinya mulai berkurang. Sebab, pelanggar yang sebelumnya terkena tilang pada tanggal ganjil semestinya tidak melakukan kesalahan dengan melewati jalur serupa. ”Aturan ini, kan, di media pun sudah diumumkan besar-besaran, marka jalan pun sudah terpasang di setiap jalan. Warga mau alasan apalagi,” ucapnya.
Hal senada disampaikan Kepala Unit Pengaturan, Penjagaan, Pengawalan, dan Patroli Lalu Lintas Kepolisian Resor Jakarta Timur Ajun Komisaris Budi Harsono. Ia mengatakan, masih tingginya jumlah pelanggar karena sejumlah pengendara beralasan tidak mengetahui perluasan ganjil-genap.
”Sekali lagi saya katakan, sosialisasi sudah dilakukan sebulan. Dibantu pula sosialisasi dari media sosial dan pemberitaan di media massa. Apalagi setelah hari pertama pemberlakuan perluasan ganjil-genap pemberitaan begitu gencar. Seharusnya itu menjadi informasi lebih. Ya, kami tegas saja menjalankan tugas jika ada yang melanggar aturan,” kata Budi.
Fabian (27), warga Grogol Petamburan, mengatakan baru mengetahui Jalan Tomang Raya masuk dalam perluasan sistem ganjil-genap. ”Saya benar-benar tidak tahu kalau di sini kena ganjil-genap. Padahal, ini mau berangkat ngantor,” katanya.
Sapto (35), warga Rawamangun, Jakarta Timur, begitu marah saat polisi menghentikan mobilnya karena merasa tidak melanggar dan menganggap aturan ganjil-genap berlaku pukul 06.00-09.00. Sementara ia melintas dari Rawamangun menuju Jalan Pramuka sekitar pukul 09.30.
”Yang buat aturan semena-mena, ini aturan seperti apa? Tidak ada yang bilang sampai pukul 10.00. Lagi pula tidak terpasang papan yang menulis sampai pukul berapa ganjil-genap ini. Sangat menyusahkan,” ujarnya membentak polisi.
Wajah Hartini (25), warga Pasar Rebo, begitu gusar ketika polisi memberhentikan mobilnya di simpang Jalan Pramuka. Ia mengaku, saat keluar pintu Tol Rawamangun, sudah ditilang. Namun, saat polisi meminta bukti surat tilang, ia tidak dapat menunjukkannya.
Hartini mengatakan, polisi telah memerasnya sehingga ia memberikan uang Rp 200.000 dan lolos dari razia. ”Saya tidak dikasih surat tilang tadi dan polisi meminta bayar denda di tempat atau bayar pada saat sidang sebesar Rp 500.000. Karena buru-buru mau kerja ke daerah Salemba, saya kasih Rp 200.000. Eh, di sini malah kena tilang,” kata Hartini dengan nada tinggi.
Menanggapi keluhan para pengendara, Budi mengatakan, tidak benar jika ada polisi meminta bayaran atau memeras warga yang melanggar aturan perluasan ganjil-genap. ”Ruang pengendara untuk menghindar sangat sempit karena 25 ruas jalan di Jakarta diberlakukan ganjil-genap. Misal, jika ada yang mengaku diperas petugas dan ia berhasil lolos, berapa banyak uang yang harus ia keluarkan untuk lolos dari razia? Mending ditilang saja dan diproses. Uangnya lari ke negara,” ujar Budi.